by :
KeN
komentar (0)
Note : Typos,
bahasa kacau, membingungkan, aneh, geje, dan lain sebagainya.
Disclaimer : Sacrifice (c) KeN
Cast : Kim Yesung - Kim Ryeong
Cho Kyuhyun - Lee Sungmin
Genre : ANGST dicampur beberapa bumbu penyedap rasa FLUFF
RULES (wajib baca) : 1. Tag FB dilakukan secara random, jadi yang ga suka langsung TUTUP TAB INI dan DILARANG BASH!!!!; 2. DILARANG COPAS, yang bandel gw sumpahin ga bisa bikin fic lagi seumur hidup!!!; 3. WAJIB MENINGGALKAN JEJAK DALAM BENTUK APAPUN!!
Happy read
--------------------------------------------------------------------------------------------
Ryeowook
menggeliat saat Yesung menghirup aroma lehernya. Menciptakan sensasi
menggelitik dan lembab saat nafas Yesung menyapu titik sensitif di
sana.
“Hyuuu~ng…”
desah Ryeowook manja saat Yesung mulai meningkatkan aktifitasnya.
“Hnn?”
respon Yesung tanpa menghentikan hirupan di leher namja manis dalam
dekapannya.
“A—aku
sedang masak.” Ryeowook memberontak halus.
“Lalu?”
Dan semakin Ryeowook memberontak, dekapan Yesung makin mengerat.
Mengisyaratkan dia tidak ingin namja yang sudah diklaim menjadi
miliknya itu melarikan diri untuk kesekian kalinya.
“Bisakah…”
“Tidak
bisa.” Interupsi Yesung yang sepertinya tahu Ryeowook memintanya
untuk bersabar sampai prosesi memasak selesai.
Dan
tangan kiri Yesung terulur ke depan badan Ryeowook, mematikan kompor
gas sementara tangan kanannya menarik tangan kiri Ryeowook. Membuat
namja manis itu menghadap padanya. Dan yesung bisa melihat bagaimana
wajah namja manis itu memerah sempurna. Ia tersenyum saat Ryeowook
tertunduk malu untuk menghindari kontak mata dengan Yesung.
“Apa
yang kau cari di bawah?” Yesung menaikkan dagu Ryeowook dan membuat
wajah namja itu menghadap padanya.
“Hyung,
bagaimana kalau yang lain melihat?”
“Bukannya
Eunhyuk dan Donghae sering seperti ini?” Yesung sedikit memajukan
bibirnya, mulai risih dengan penolakan sang uke.
“Tapi…hmmph!”
Dan dengan segera Yesung membungkam bibir mungil itu dengan bibirnya.
Ryeowook
memberontak lagi saat Yesung sedikit kasar menekan bibirnya. Namun
sepertinya Yesung tahu Ryeowook tidak nyaman dengan perlakuannya.
Jadi ia sedikit melunakkan permainan.
Ryeowook
memejamkan mata makin rapat saat merasa bibir bawahnya tersapu lidah
kasar Yesung. Ia mengangkat tangannya menyusuri kedua lengan kekar
Yesung. Dicengkeramnya lengan baju Yesung saat ia membuka sedikit
bibirnya dan dengan cepat lidah Yesung mengeksplorasi lebih jauh di
rongga hangat itu.
“Engghh…”
erang Ryeowook tertahan.
Yesung
merengkuh tubuh kecil itu makin erat. Mengurangi getaran tubuh
Ryeowook yang menggigil karena ulahnya. Tapi bukan salahnya kalau dia
sampai seperti ini.
Bukannya
Ryeowook tidak pernah mau melakukan hal-hal mesra dengannya. Di atas
panggung, mereka terkadang memberikan fanservice kepada fans. Namun
sekali lagi, itu cuma fanservice, sesuatu yang sepertinya sudah
menjadi keharusan untuk dilakukan demi menyenangkan fans, tapi tidak
menyenangkan hati mereka. Meskipun Ryeowook dijuluki sebagai salah
satu member yang cukup jahil di Super Junior, nyatanya ia tetap malu
jika berhadapan dengan Yesung yang sebenarnya sebagai seorang namja.
Ryeowook
jarang mengijinkan Yesung menyentuhnya. Ia pasti selalu punya alasan
untuk menghindar jika Yesung sudah memberikan sinyal-sinyal ingin
memilikinya. Dan entah kenapa Yesung tidak pernah tidak membiarkannya
pergi. tapi tidak untuk kali ini saat apa yang diinginkannya sudah
tidak dapat dibendung lagi.
Yesung
semakin memperdalam ciuman mereka. Kali ini ia tidak akan membiarkan
namja yang sedang terbuai rayuannya ini melarikan diri. Tidak saat
kesempatan kali ini berhasil didapatkannya.
“Ryeowook-ah,
masalah yang tadi…” Sungmin, yang menghampiri Ryeowook ke dapur,
tidak bisa menyelesaikan kalimatnya saat memasuki dapur dan mendapati
pemandangan yang membuatnya sedikit ternganga.
Sepertinya
baik Yesung maupun Ryeowook tidak menyadari kedatangan Sungmin.
Mereka masih sibuk saling lumat. Menghasilkan suara decakan saat
saling bertukar ludah. Bahkan Ryeowook sudah terlihat tidak canggung
lagi. Kedua lengannya melingkari leher Yesung untuk menjaga agar
bibir mereka tetap bertautan.
“Hyung?
Wae geurae?” Kyuhyun, yang baru bangun, menyenggol lengan Sungmin
sambil menggaruk rambutnya. Gestur setiap bangun tidur.
“Sssttt..”
Sungmin menempelkan telunjuk ke bibir Kyuhyun tanpa mengalihkan
pandangan pada objek yang ada dapur.
Kyuhyun
mengernyit sambil menjauhkan telunjuk Sungmin. Dia memandang ke arah
mana hyung-nya itu melihat. Dan saat tahu apa yang sedang dilihat
Sungmin, alih-alih ikut menjaga ketenangan lalu ikut mengintip, ia
malah melangkah santai masuk dapur dan membuat Sungmin terbelalak.
“Kyu!”
panggil Sungmin dalam bisikan keras.
Tapi
yang dipanggil tidak peduli dan tetap melangkahkan kaki ke arah
dapur. Sungmin bergegas menyusul dan menarik lengan roommate-nya itu.
“Waeee~?”
tanya Kyuhyun protes.
Dan
suara Kyuhyun –yang sepertinya memang sengaja dikeraskan— itu
membuat pasangan yang tengah bercumbu di dapur menoleh kaget.
Terutama sang namja manis, Ryeowook yang mukanya langsung memerah
menyadari apa yang ia lakukan bersama sang kekasih kepergok.
“Ehehehehe,”
Sungmin tersenyum salah tingkah dan memaksa. “Annyeong, Hyung!
Annyeong, Ryeowookie!”
Bukannya
menjawab, Ryeowook langsung berlari kecil menuju kamar mandi dengan
muka yang sepertinya akan berasap saking merah matangnya.
Ketiga
namja yang tertinggal di dapur –Yesung, Kyuhyun, dan Sungmin—
hanya menatap kepergian Ryeowook dengan ekspresi masing-masing.
Yesung dengan ekspresi kecewanya, Kyuhyun dengan inosennya, dan
Sungmin dengan tampang bersalahnya.
“Ah,
Hyung…mian..” kata Sungmin yang menoleh ke arah Yesung.
Yesung
sedikit cemberut mendelik pada pasangan yang baru saja menghancurkan
momen indahnya itu. Sementara Kyuhyun hanya bersiul ringan sambil
melenggang ke lemari es untuk mengambil air putih.
Dan
dengan sedikit menghentak, Yesung menyusul kemana Ryeowook pergi.
Entah untuk melanjutkan aktifitas yang tertunda atau hanya sekedar
mengetuk pintu dan mengiba pada sang uke untuk kembali bermain
asmara.
.:oOo:.
“Ne,
Appa.” Ryeowook menarik kursi untuk didudukinya.
Malam
itu mendadak ia sangat rindu dengan rumah. Jadi dia menelepon kedua
orang tuanya. Namun sayang sang ibu sedang keluar, sehingga Ryeowook
hanya bisa berbincang dengan sang ayah. Awalnya pembicaraan bermula
dengan hal-hal ringan seperti menanyakan kabar dan ayah Ryeowook
menanyakan apakah Ryeowook menjaga pola makan di dorm. Namun lama
kelamaan, pembicaraan menuju ke arah yang lebih serius saat sang ayah
sempat mendengar ada yang menyebut-nyebut bahwa putra semata
wayangnya itu akan menikah.
Meski
ayah Ryeowook yakin itu kabar burung, mengingat anaknya yang belum
pernah menceritakan tentang gadis manapun, tapi ayah Ryeowook
benar-benar berharap setidaknya anaknya itu mulai melirik seorang
gadis saat ini.
“Appa
tidak akan menyuruhmu segera menikah atau apa,” Terdengar suara
bijaksana ayah Ryeowook di ujung lain. “Appa tahu bagaimana
kontrakmu dengan management.”
Ryeowook
menunduk dan memainkan kakinya.
“Tapi
ingat juga umurmu. Sudah saatnya kamu menjalin hubungan khusus dengan
seseorang kan?!” kata ayah Ryeowook lagi.
Ryeowook
makin menunduk dan menggigit bibirnya. Dalam hati ia berkata,
aku juga sedang menjalin hubungan, Appa.
Tapi
bagaimana mungkin dia mengatakan itu pada ayahnya sementara hubungan
yang ia jalin sekarang ini terlarang. Tidak, mungkin baginya. Tapi
bagi orang lain, hubungan yang saat ini dijalinnya dengan –tentu
saja— rekan kerjanya, Yesung, adalah hubungan tabu.
Apa
yang akan ayahnya katakan jika Ryeowook mengaku? Dan di atas itu
semua, bagaimana pandangan orang-orang di luar sana tentang
keluarganya kalau sampai berita ini meluas?
“Ryeowook-ah?
Kau masih di situ?” tanya sang ayah saat Ryeowook tidak juga
menjawab.
“Ah,
ne! Ne…Appa.” Ryeowook buru-buru menjawab.
Terdengar
sang ayah menghela napas di ujung telepon. “Maaf kalau Appa bicara
yang tidak-tidak.”
“Anni..anni,”
Ryeowook menggeleng kecil. “Gwaenchana, Appa.”
Sang
ayah tersenyum. “Yahh, sekarang ini memang yang jauh lebih penting
adalah karirmu.”
Ryeowook
lagi-lagi tidak menjawab. Ia tahu ayahnya itu sedang berusaha
mengalihkan topik pembicaraan, dan Ryeowook sama sekali tidak merasa
lega. Jadi ia terpaksa mengubah suaranya agar terdengar riang seperti
biasanya.
“Ne.
Saat ini kami sedang mengurus World Tour yang diinginkan
Leeteuk-hyung, Appa.”
“Ya,”
Sang ayah menjawab. “ Jaga kondisimu.”
“Iya.
Gomawo, Appa.”
Sang
ayah kembali tersenyum bijak. “Harusnya Appa yang berterima kasih
karena kamu sudah menelepon ke rumah.”
Ryeowook
merasa matanya sedikit basah. Rasanya memang selalu seperti ini saat
menelepon ke rumah. Kangen sekali. Tapi mau bagaimana lagi? Karir ini
sudah Ryeowook pilih, dan mau tidak mau ia harus menghadapi
konsekuensinya.
“Ne,
Appa. Titip salam untuk Umma kalau sudah pulang nanti.”
“Jangan
khawatir,” Sang ayah menerawang. Membayangkan tengah mengelus
puncak kepala putra semata wayangnya itu. “Akan Appa sampaikan
nanti.”
“Ya
sudah. Aku tutup dulu teleponnya.” Ryeowook mengusap sudut matanya
dari airmata.
“Iya.”
“Selamat
malam, Appa. Saranghae.”
“Nado
saranghae, nae aegi.”
“Aku
bukan bayi, Ayah.” Ryeowook tertawa kecil.
“Ne,
ne,” Ayah Ryeowook ikut tertawa. “Sudah, tutup teleponnya.”
“Ne.
Jaljjayo.”
“Jaljja.”
Ryeowook
memindahkan telepon dari telinganya dan menekan tombol untuk memutus
kontak. Ia memandangi layar ponselnya yang sudah menggelap.
Memikirkan kalimat ayahnya tadi.
“Sudah
selesai teleponnya?”
Ryeowook
memutar duduknya dan menemukan Yesung berdiri menyandarkan diri di
kusen pintu yang terbuka dengan dua tangan di saku celananya, tengah
tersenyum padanya.
Ryeowook
tersenyum. “Sudah. Tapi tadi cuma ada Appa di rumah. Umma sedang
pergi.”
“Hnn,”
Yesung mengangguk sambil mendekat. Lalu ia duduk di ranjangnya. “Appa
apa kabar?”
“Baik,”
jawab Ryeowook. “Setidaknya aku dengar dari nada suaranya.”
Yesung
mengangguk lagi. “Tadi membicarakan apa?”
Ryeowook
terdiam. Ia hanya menatap Yesung yang kini tengah merapikan
ranjangnya dari buku-buku. Mana mungkin ia mengatakan pada hyung-nya
itu apa yang dia bicarakan dengan ayahnya tadi?
“Yakk,
kenapa malah melamun?” Yesung menghentikan gerakan tangannya saat
menyadari Ryeowook menatapnya lekat.
“Ah,
anni,” Ryeowook menggeleng lalu berdiri. “Tadi…Appa…titip
salam untukmu, Hyung. Sudah ya?! Aku mau menemui Sungmin-hyung dulu.”
Yesung
hanya bisa heran menatap Ryeowook yang buru-buru meninggalkan kamar
mereka. Tapi Yesung tidak bisa menghentikan namja manis itu.
.
.
.
.
“Hyung…”
panggil Ryeowook saat sampai di depan pintu kamar Sungmin –dan
Kyuhyun— yang terbuka.
Dua
namja di dalam kamar yang sedang asyik memainkan Starcraft bersama,
Kyuhyun dan Sungmin –tentu saja—, menoleh pada Ryeowook dengan
segera. Dan saat melihat raut muka eternal magnae itu, Sungmin segera
tahu ada yang tidak beres. Jadi dia dengan cepat menyudahi permainan
yang baru-baru ini menyita perhatiannya itu.
“Kyu,”
Sungmin menoleh pada Kyuhyun. “Bisa lanjutkan di luar?”
“Hah?”
Kyuhyun langsung protes. “Kalian mengusirku?”
Sungmin
menghela napas menghadapi evil magnae satu ini. “Bukan mengusir,
Kyu. Lagi pula mau di dalam atau di luar kau kan masih bisa main.”
Kyuhyun
merengut. Dia mengangkat laptop dan seluruh perkakas pentingnya
–untuk bermain Starcraft— dan meninggalkan ruangan.
“Maaf,
Kyuhyun-ah.” Ujar Ryeowook saat evil magnae itu melewatinya.
“Gwaenchana,”
Masih setengah merengut Kyuhyun berhenti sebentar dan menoleh. “Toh
Sungmin-hyung memang selalu menomorsatukanmu dari pada aku.”
“Kyu!”
Sungmin memberikan peringatan pada panggilannya.
“Iya,
iya. Aku keluar!” Dan makin merengut Kyuhyun meninggalkan kamar tak
lupa dengan sebal menutup pintu.
Ryeowook
tersenyum kecil di wajah sedihnya ke arah pintu yang menutup.
“Ada
apa?” Sungmin tanpa basa-basi bertanya.
Ryeowook
menoleh ke arah Sungmin. Ia berjalan mendekat dan duduk di kursi yang
ditinggalkan Kyuhyun tadi.
“Rasanya
memang antara aku dan Yesung-hyung akan sedikit sulit dijalani.”
.:oOo:.
Pagi
itu penghuni dorm lantai 12 turun ke bawah untuk sarapan
bersama-sama. Sampai-sampai meja makan di dorm bawah butuh kursi
tambahan untuk membuat 9 anggota Super Junior yang tersisa itu duduk
mengelilingi meja.
“Kenapa
kalian tidak lakukan ini di dorm kalian sendiri, sih?” Dance
machine, Eunhyuk, protes.
“Memangnya
kenapa? Kan kita sudah seperti keluarga.” Donghae memasukkan
sesumpit sayur kimci ke mulutnya.
Dan
seperti yang bisa kita bayangkan, dorm bawah saat itu penuh
hiruk-pikuk 9 namja yang saling berebut makanan. Masing-masing tidak
ada yang mengalah dan selalu ada permainan untuk menentukan siapa
yang akan mencuci semua perabotan kotor.
Hari
ini, mereka memilih permainan sederhana dan kekanakan yang sudah
sangat sering digunakan, batu-kertas-gunting. Dan suara gegap gempita
tak lama kemudian terdengar saat Ryeowook sukses kalah dari ketujuh
hyung dan satu dongsaengnya. Tanpa protes seperti biasanya ia
mengangkut piring-piring yang kotor ke wastafel, dan tentu saja hal
ini menarik perhatian Yesung yang merasakan perubahan Ryeowook
beberapa hari ini. Dengan cepat ia berdiri dari kursinya dan
mendekati Ryeowook yang tengah mengairi piring-piring kotor yang
dibawanya tadi.
“Ne,”
panggil Yesung yang membuat Ryeowook terlonjak. “Gwaenchana?”
“A…apa,
Hyung?” Ryeowook spontan menjauhkan dirinya dari Yesung yang
mendekatinya.
“Kau
sakit?” tanya Yesung sambil berbisik agar dongsaeng dan hyungnya
yang masih ramai di meja makan tidak menemukan mereka sedang
berbicara sehingga menimbulkan kegaduhan.
“A…aku…tidak.”
Ryeowook menghindar.
Namja
manis itu kembali ke meja makan, meninggalkan Yesung yang hanya bisa
mengikui setiap gerakan Ryeowook dengan bingung.
“Kau
ada masalah?”tanya Yesung lagi saat Ryeowook kembali ke wastafel,
kali ini dengan beberapa mangkung putih kotor sisa sup.
“Anni,
Hyung,” Ryeowook menghindari kontak mata dengan Yesung dan mengairi
mangkuk-mangkuk tadi. “Minggirlah sebentar, aku harus mencuci semua
ini.”
“Kau
menghindariku kan?!” todong Yesung.
Dan
Yesung melihat gerakan tangan Ryeowook langsung terhenti. Namun
Ryeowook hanya melirik Yesung sebentar dan kembali berwajah kalem,
meneruskan pekerjannya.
“Untuk
apa aku menghindarimu, Hyung?” tanya Ryeowook balik.
Yesung
mengamati tampak samping kekasihnya itu. “Ini ada hubungannya
dengan telepon dengan ayahmu tempo hari?”
“Aku
tidak apa-apa, Hyung,” Ryeowook menarik tangan Yesung kemudian
mendorong yesung kembali ke meja makan. “Jadi sana kembali duduk
dan minum dengan tenang bersama yang lain.”
Yesung
menuruti kata-kata Ryeowook sekalipun matanya tidak bisa lepas dari
punggung namja yang kembali berkutat dengan pekerjannya. Dan tak jauh
dari Yesung, sepasang mata rubah ikut memperhatikan, mata cantik
milik Sungmin.
“Jangan
khawatir,” kata seseorang yang duduk di sebelah Sungmin. “Mereka
akan baik-baik saja.”
Sungmin
menoleh dan menemukan roommate-nya meminum air putih dari botol air
mineral tanpa melihatnya. Ia mengangguk kecil. “Ne, semoga mereka
baik-baik saja.”
.
.
.
.
Yesung
berbaring dengan gelisah di ranjangnya. Ia mengubah posisi beberapa
kali. Pikirannya melayang ke arah Ryeowook, sibuk menerka apa yang
terjadi padanya.
Kalau
diingat-ingat, Yesung tidak merasa melakukan sesuatu yang salah.
Masa’ iya Ryeowook marah karena apa yang Yesung lakukan di dapur
dulu? Bukankah setelah itu mereka masih berbincang-bincang seperti
biasanya? Yesung yakin perubahan Ryeowook dikarenakan telepon dari
ayahnya beberapa hari kemarin. Pasti ada yang terjadi di antara ayah
dan anak itu namun Ryeowook enggan menceritakan padanya.
Yesung
mengubah posisi tidurnya menjadi miring menatap tembok. Apa
masalahnya berat sampai Ryeowook seperti itu?
Yesung
masih sibuk menerka jawaban saat mendengar pintu kamar –kamar
Ryeowook juga pastinya— terbuka dan suara langkah masuk. Yesung
bertahan dengan posisinya, ia heran juga Ryeowook baru masuk kamar
jam segini. Biasanya kalau tidak ada jadwal, ia tidak akan tidur
terlalu malam.
“Kau
dari mana?” tanya Yesung, masih tanpa mengubah posisi tidurnya,
yang miring menghadap tembok, membelakangi orang yang baru masuk ke
kamarnya itu.
“Aku
dari kamarku.” jawab orang yang baru datang tadi.
Kening
Yesung berkerut. Sejak
kapan suara Ryeowook nge-bass begini?
Buru-buru
Yesung duduk dan melihat siapa yang datang ke kamarnya. Dan siapa
yang dia lihat tengah menyusupkan diri di ranjang Ryeowook adalah
orang lain, dia adalah Kyuhyun.
“Yakk!”
Yesung spontan menunjuk. “ Apa yang kau lakukan di situ?”
“Aku
mau tidur.” jawab Kyuhyun santai sambil menyamankan posisi
tidurnya.
“Siapa
yang mengijinkanmu tidur di situ?” Yesung meninggalkan ranjangnya
dan menghampiri Kyuhyun yang sudah berbaring di bawah selimut.
“Seseorang.”
Kyuhyun bersiap menutup mata.
“Kau…”
Yesung makin bingung. “Mana Ryeowook?”
“Dia
tidak mau tidur denganmu lagi.”
Yesung
terbelalak. “Apa maksudmu?”
“Mulai
hari ini kami tukar tempat tidur.” Kyuhyun sudah memejamkan
matanya.
“Yak!!”
Yesung berseru lagi. “Mana mau aku sekamar denganmu?”
“Kau
kira aku sudi?” tanya Kyuhyun balik sambil membuka mata menatap
dingin hyung-nya itu sebentar kemudian dipejamkan lagi.
Yesung
mendengus sebal. Ia terdiam sambil berkacak pinggang sebelum akhirnya
melangkahkan kaki hendak keluar kamar.
“Kalau
aku jadi kau, aku akan memberinya waktu untuk sendirian sebentar.”
Terdengar suara Kyuhyun saat Yesung membuka pintu.
Yesung
menoleh sedikit kea rah magnae Super Junior itu. “Dia benar-benar
ada masalah?”
Kyuhyun
merapatkan selimutnya lalu mengubah posisi menjadi miring menghadap
tembok. “Mwolla. Dia tidak cerita apa-apa padaku. Sudah, jangan
cerewet! Aku mau tidur.”
Kamar
menjadi hening. Yesung masih berdiri di ambang pintu yang di bukanya,
menatap poster besar Ryeowook yang terpasang tepat di atas kepala
Kyuhyun saat ini. Ryeowook-ah..
.
.
.
.
“Yakin
tidak apa-apa, Hyung, kalau aku tidur di sini?” tanya Ryewook yang
duduk di tepi ranjang Sungmin sementara sang pemilik ranjang sudah
berbaring di ranjang milik Kyuhyun.
“Gwaenchana.
Kyuhyun bisa tidur dimanapun.” jawab Sungmin polos.
Ryeowook
terdiam sebentar sambil menunduk sebelum berujar, “Aku masih bisa
berhadapan dengan Yesung-hyung kok.”
Sungmin
tersenyum sabar. “Kalau kau bisa menghadapinya, kau tidak akan
menghindarinya seperti saat mencuci piring tadi.”
Ryeowook
mendongak cepat. Cukup terkejut ternyata ada yang memperhatikan apa
yang terjadi tadi.
“Kalian
belum cukup berbakat untuk berakting.” Sungmin masih tersenyum.
“Hmm~”
Ryeowook mengangguk sambil menggembungkan pipinya, terlihat lucu.
Sungmin
menatap dongsaeng-nya itu sebentar kemudian menyingkap selimut dan
turun dari ranjang. Menghapiri Ryeowook yang masih duduk di tepi
ranjangnya. Ia memeluk Ryeowook sayang.
“Gwaenchana,
Yesung-hyung akan mengerti.”
Ryeowook
balas memeluk namja yang lebih tua darinya itu. “Aku tahu dia bisa
memahaminya, Hyung. Tapi di saat yang sama aku akan menyakitinya.”
.:oOo:.
Yesung
membuka mata pagi itu dan melihat tembok putih di depannya. Ia baru
sadar kalau dari semalam ia sama sekali tidak mengubah posisi
tidurnya. Ia menggeliat sebentar dan menoleh ke ranjang sebelah dan
melihatnya sudah rapi tanpa penghuni.
Yesung
turun dari ranjang sambil melemaskan tulang lehernya yang pegal
karena tidur semalaman tanpa mengubah posisi. Ia sendiri juga baru
bisa tidur lewat dini hari tadi gara-gara masih penasaran dengan apa
yang terjadi pada Ryeowook-nya.
Begitu
Yesung membuka pintu kamar, bau harum segera tercium dari dapur
dengan sedikit suara bising barang-barang pecah belah yang
bersentuhan menghasilkan dentingan khas di pagi hari.
Yesung
tersenyum dan tanpa berlama-lama segera berjalan menuju dapur. Ia
berhenti melangkah saat melihat Ryeowook sibuk mengaduk sesuatu yang
tengah berasap tebal di panci ukuran sedang. Tangannya yang bebas
beberapa kali dikibaskan untuk mengurangi asap yang mengeroyok
wajahnya.
Tak
jauh darinya Sungmin tengah menata makanan yang sudah jadi di meja
makan. Kemudian terdengar Ryeowook memanggilnya. Sungmin menghampiri
dongsaeng-nya itu yang sudah menyodorkan sendok sayur dengan sedikit
kuah di ujungnya. Sungmin meniupnya sebentar sebelum mencicip kuah
tadi. Tidak lama sampai Sungmin mengangguk sambil memberikan Ryeowook
jempol tangan kirinya. Ryeowook tersenyum manis lalu kembali mengaduk
sayurnya tadi.
Yesung
tersenyum makin lebar. Betapa pemandangan di depannya itu begitu
damai. Ia perlahan kembali menuju dapur. Tanpa suara agar Sungmin
maupun Ryeowook tidak menyadarinya.
Yesung
berpura-pura memasang tampang sebal begitu sampai di dapur. “Aku
marah lho.”
Ryeowook
dan Sungmin yang masih serius dengan sayur otomatis menoleh begitu
mendengar suara di belakang telinga mereka. Khusus Ryeowook,
ekspresinya langsung berubah gugup.
“Kyuhyun
bilang kau tidak mau tidur sekamar denganku lagi,” lanjut Yesung
sambil menggeser salah satu mejanya agar ia bisa duduk. “Benarkah?”
Sungmin
mengambil alih sendok sayur dari tangan Ryeowook dan memberi isyarat
agar ia duduk dengan Yesung.
“Aaaa…itu…”
Ryeowook menggaruk tengkuknya sambil menatap Sungmin yang
berpura-pura tidak peduli.
“Apa
aku sudah melakukan kesalahan?”
Ryeowook
buru-buru menggeleng.
“Lalu?”
Yesung menginterogasi.
“Aku
hanya… Aku…” Ryeowook menghindari kontak mata dengan Yesung.
“Aku…ingin mencari suasana baru.”
“Suasana
baru apa?” Yesung mengejar.
Ryeowook
menggigit bibir bawahnya.
“Kalau
ada masalah, jangan kau pendam sendirian,” kata Yesung. “Kalau
aku melakukan kesalahan, kau bilang saja.”
“Anni,
Hyung…” jawab Ryeowook cepat. “Hyung tidak salah apapun.”
“Lalu
apa?”
Ryeowook
terdiam lagi.
“Kau
tidak mempercayaiku lagi?”
“Justru
karena aku terlalu percaya.” jawab Ryeowook lirih.
Sungmin
sedikit menoleh pada dongsaeng yang berdiri di sebelahnya itu.
“Ha?”
Yesung tidak paham.
“Ijinkan
aku sendirian untuk beberapa waktu, Hyung. Bahkan melihatmu seperti
ini aku sudah merasa sangat bersalah.” Ryeowook memberanikan diri
menatap mata Yesung yang jelas terkejut karenanya.
Ryeowook
tanpa berkata apa-apa lagi hanya bisa meninggalkan dapur dan kembali
masuk ke kamar Sungmin. Yesung hanya menatap kepergian namja itu
tanpa menahannya. Ia dibuat semakin kebingungan dengan kalimat
terakhir yang diucapkan Ryeowook tadi.
“Dia
kenapa?” tanya Yesung pada Sungmin. “Apa maksudnya dia merasa
bersalah padaku?”
Sungmin
menghela napas sebelum berbalik menghadap Yesung.
“Maaf,
Hyung,” katanya. “Bukannya aku tidak mau memberitahumu, tapi aku
merasa bukan hakku untuk mengatakannya. Aku juga ingin kau
mengetahuinya sendiri dari bibir Ryeowook.”
Yesung
terdiam.
“Yang
jelas, lebih baik beri dia waktu beberapa saat untuk sendirian sampai
akhirnya ia siap untuk memberitahumu.” lanjut Sungmin.
“Kapan?”
tanya Yesung cepat. “Kapan itu akan terjadi? Bagaimana kalau dia
selamanya tidak mau mengatakannya padaku.”
“Sama
seperti Hyung yang minta agar Ryeowook percaya pada Hyung. Tolong
percaya juga padanya.” pinta Sungmin.
Kemudian
tidak terdengar apa-apa lagi di dapur selain kuah sayur yang
menggelak. Baik Sungmin dan Yesung tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Termasuk seorang namja, Kyuhyun, yang berdiri
bersandarkan dinding tak jauh dari dapur yang tidak sengaja mendengar
percakapan kedua namja tadi.
.
.
.
.
Malam
itu Ryeowook tidak terlihat ikut makan malam bersama penghuni dorm
lantai 11. Di meja makan hanya ada Kyuhyun, Sungmin, Yesung, Eunhyuk,
dan dua anggota tambahan dari lantai 12 yakni Shindong dan Donghae,
yang lagi-lagi numpang makan.
“Yak!
Hae, itu dagingku!!” seru Eunhyuk saat Donghae mengambil piring
berisi daging milik Eunhyuk yang membuat mereka saling kejar
mengelilingi dorm.
“Ryeowook-ah
dimana?” tanya Shindong sambil memasukkan samgyupsal ke mulutnya.
Lama
tak ada jawaban sampai sungmin berinisiatif, “Dia di kamarku.”
“Di
kamarmu?” Shindong mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa tidak ikut
makan?”
Sungmin
melirik Yesung yang makan dengan malas-malasan. “Ku..kurasa dia
sudah makan tadi.”
“Ooohh…”
Shindong tidak ambil pusing lalu kembali melahap hidangannya.
Mendadak
Kyuhyun meletakkan sumpit makan dan mengambil tisu untuk melap
bibirnya. Masih sambil mengunyah, ia menuju rak piring dan mengambil
satu piring dan mangkuk kecil kosong. Ia kembali ke meja makan lalu
mengambil nasi untuk ditaruh di mangkuk kecil tadi, sementara ia
mengiisi piring dengan beberapa daun selada, kimchi dan daging.
“Untuk
apa, Kyu?” tanya Sungmin heran.
“Ini?”
tanya Kyuhyun yang dijawab dengan anggukan leher Sungmin. “Aku akan
memberikannya pada seseorang.”
Sungmin
menatap Kyuhyun sebentar lalu paham apa maksud namja itu. Kembali ia
melirik Yesung yang kali ini sudah tidak menyentuh makanannya lagi.
“Kalian
lanjut saja makannya, aku sudah kenyang.” kata Kyuhyun sambil
melenggang santai meninggalkan meja makan sementara duo HaeHyuk masih
berkeliaran saling berebut daging di piring.
.
.
.
.
Tanpa
mengetuk pintu, Kyuhyun masuk ke kamarnya di mana ada Ryeowook di
dalamnya. Namja itu sedikit terlonjak saat ia datang. Kyuhyun juga
tanpa sengaja melihat Ryeowook dengan cepat mengusap matanya, jelas
tadi ia menangis.
“Ada
apa, Kyuhyunnie?” tanya Ryeowook dengan memasang senyum di
wajahnya.
Kyuhyun
menghela napas sebelum berjalan mendekati Ryeowook yang masih duduk
manis di ranjang Sungmin.
“Aku
tidak suka melihat orang menyakiti tubuhnya saat ada masalah. Makan!”
perintah Kyuhyun dingin sambil meletakkan piring dan mangkuk yang ia
bawa.
Meskipun
Ryeowook lebih tua, Kyuhyun yang sedang serius begini bukan lawan
yang enteng. Jadi yang bisa ia lakukan adalah beringsut mendekati
makanan tadi dan menuruti sang adik.
“Gomawo.”
kata Ryeowook singkat sambil menggunakan sumpitnya untuk mengambil
nasi.
Kyuhyun
berjalan ke kasurnya dan duduk di sana. Ia berdiam diri sambil
mengawasi Ryeowook makan dan memastikan namja itu menghabiskannya.
Dan makan di bawah tekanan seperti itu membuat Ryeowook tidak bisa
melakukan apapun selain tetap memasukkan apa yang dibawa Kyuhyun tadi
ke dalam mulutnya sekalipun ia sama sekali tidak lapar.
“Kapan
kau akan mengatakannya?” tanya Kyuhyun tiba-tiba.
Seketika
itu pula Ryeowook berhenti mengunyah. Ia tahu kemana arah pertanyaan
Kyuhyun.
“Aku
tidak akan memaksamu untuk segera mengatakannya,” lanjut Kyuhyun.
“Tapi dengan semakin lama kau berdiam diri, Yesung-hyung juga
semakin tersiksa.”
Ryeowook
kembali mengunyah perlahan sambil menunduk menatap mangkuk nasinya.
“Aku
tidak tahu apa masalah kalian, tapi aku yakin kalian bisa
mengatasinya. Lagi pula kau tidak sendirian. Kau punya aku,
Sungmin-hyung, Eunhyuk-hyung, dan semuanya. Kita hadapi semuanya
bersama.” tambah Kyuhyun.
Ryeowook
menatap dongsaeng-nya itu dalam-dalam, matanya kembali berkaca-kaca.
“Ne!!”
katanya mantap. “Akan segera kulakukan.”
Kyuhyun
mengangguk sementara Ryeowook kembali menghabiskan makan malamnya
dengan lebih semangat.
“Selain
itu,” Kembali Kyuhyun berkata. “Cepat keluar dari kamar ini.”
Dan
kalimat itu, sukses membuat Ryeowook tersedak.
.
.
.
.
“Kau
yakin?” tanya Sungmin saat Kyuhyun mengajaknya bicara empat mata di
kamar mandi.
Kyuhyun
hanya mengangguk sambil melipat tangannya.
“Tapi
bahkan kau belum bilang pada Ryeowook.” kata Sungmin.
Kyuhyun
berdecak. “Aku yakin dia tidak akan mau melakukannya kalau kita
tanyakan padanya.”
“Tapi
kan…”
“Ini
juga demi kebaikan mereka. Aku tidak melihat ada sesuatu yang salah
dari rencana ini,” interupsi Kyuhyun. “Ryeowook itu (Kyuhyun
mendapat pukulan dari Sungmin karena panggilannya yang tidak sopan
pada Ryeowook ini) juga mau tidak mau harus segera mengatakannya.”
Sungmin
hanya bisa mengangguk sekalipun ia masih takut Ryeowook akan marah
dengan rencana yang disusun seme-nya itu.
.
.
.
.
Sungmin
mengintip dari balik selimut milik Kyuhyun. Ia lihat Ryeowook sudah
tidur di ranjangnya. Terdengar dengkuran halusnya yang menandakan
kalau ia sudah benar-benar masuk ke alam mimpi. Perlahan Sungmin
menyingkap selimut lalu turun dari ranjang. Dengan berjingkat ia
keluar dari kamar. Kyuhyun ternyata sudah menunggu di luar kamar. Ia
duduk bersila di lantai sambil memainkan PSP-nya.
“Yakk!
Kau membuatku kaget saja.” kata Sungmin dalam bisikan keras.
Kyuhyun
mematikan PSP-nya. “Habisnya kau tidak cepat keluar, aku jadi
bosan. Makanya main PSP saja.”
Sungmin
membantu Kyuhyun berdiri. “Ryeowook baru bisa tidur. Kulihat dari
tadi dia gelisah.”
Kyuhyun
tidak menjawab.
“Yesung-hyung
mana?” tanya Sungmin.
“Di
kamar.” jawab Kyuhyun.
.
.
.
.
“Ayolah,
Hyung!” bujuk Sungmin saat Yesung menolak untuk menjalankan rencana
yang sudah disusun oleh Kyuhyun.
“Aku
tidak mau memaksanya kalau dia memang tidak mau mengatakannya
padaku,” kata Yesung. “Lagipula bukankah kau sendiri yang bilang
kalau lebih baik aku bersabar padanya.”
“I…iya
sih, memang,” Sungmin menggaruk tengkuknya. “Tapi tadi Kyuhyun
sudah bicara sedikit dengan Ryeowook dan dia bilang akan mengatakan
secepatnya.”
Yesung
terdiam.
“Sebentar
lagi juga kita harus ke Singapura untuk Super Show, Hyung. Jadwal
kita akan padat. Kapan kalian punya waktu bicara?” Kyuhyun membantu
Sungmin.
Yesung
masih tidak menjawab.
“Tidak
harus bicara sekarang. Cukup Hyung tidur saja di kamarku, kalian bisa
bicara besok pagi saat bangun.” tambah Sungmin.
Yesung
menggeleng. “Aku hanya akan mengajaknya bicara kalau dia sudah
benar-benar siap.”
Sungmin
memandang Kyuhyun dengan tatapan meminta pertolongan. Mereka tidak
menyangka kalau keadaannya akan rumit begini.
Kyuhyun
menantang Yesung dengan tatapan evil-nya. “Baiklah kalau itu maumu,
silakan saja menunggu.”
Sungmin
terbelalak dengan kalimat Kyuhyun. Ini di luar rencana mereka.
“Terus
saja menunggunya. Siapa tahu Ryeowook-hyung malah tidak berencana
memberitahumu. Silakan saja menunggu sampai mati penasaran. Yang
jelas kami sudah menawarkan bantuan.” lanjut Kyuhyun lagi sambil
menarik tangan Sungmin keluar kamar Yesung.
“Ah,
Kyu! Chamkkam…” Sungmin hanya bisa pasrah ditarik dongsaeng-nya
itu.
Sepeninggal
pasangan Kyuhyun dan Sungmin, Yesung terduduk di ranjangnya. Ia
sebenarnya juga ingin mengikuti rencana kedua adiknya itu. Tapi ia
juga masih memikirkan perasaan Ryeowook. Ia takut membuat Ryeowook
tertekan jika ia melakukan hal itu.
Tapi
bagaimana jika apa yang dikatakan Kyuhyun benar? Bagaimana jika
Ryeowook tidak akan mengatakan apapun padanya? Bagaimana jika namja
itu berniat menyimpan rahasia ini selamanya? Bagaimana nasib
hubungannya dengan Ryeowook?
Yesung
berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Ia sibuk
membuat kemungkinan-kemungkinan dan membayangkan resiko yang
didapatnya dari setiap keputusan yang ia ambil.
Cukup
lama Yesung bertahan dengan aktivitasnya itu sampai akhirnya ia
berhenti dan memantapkan sebuah keputusan. Ia membalikkan badan dan
melihat pintu coklat di depan matanya. Ia akan keluar dan berbicara
sekali lagi dengan Kyuhyun dan Sungmin.
Ya,
semua sudah diputuskan!,
Yesung memantapkan hatinya.
Yesung
menghampiri pintu kamarnya dan membukanya dengan mantap.
“Omoo!!”
Yesung terlonjak saat mendapati apa yang ada di depan pintunya.
Pasangan Kyuhyun dan Sungmin berdiri dengan senyum lebar
menyambutnya.
“Sudah
siap, Hyung?” tanya Sungmin dengan aegyo-nya.
“Kalian
benar-benar bisa membuatku jantungan.” Yesung mengelus dada
bidangnya.
“Sudah
jangan banyak omong, ayo pergi!” Kyuhyun mendorong Yesung ke arah
kamarnya disusul Sungmin di belakangnya.
Sampai
di depan pintu kamar Kyuhyun dan Sungmin, Yesung kembali khawatir.
“Yakin
ini tidak apa-apa?” tanyanya.
“Iya.”
sahut Kyuhyun (dengan sebal) dan Sungmin (dengan ceria) bersamaan.
Yesung
menggenggam knop pintu kamar itu sambil berdoa dalam hati. Perlahan
ia memutarnya dan pintu terbuka. Di dalam kamar sudah remang-remang.
Hal pertama yang Yesung lihat adalah tubuh yang terbalut selimut di
salah satu ranjang. Tubuh itu tengah meringkuk.
Yesung
menghampirinya. Begitu sampai di dekatnya, Yesung tersenyum dan
berjongkok. Tubuh itu, Ryeowook, tertidur pulas. Bisa Yesung rasakan
nafas halus dari hidung namja itu. Yesung menyibak rambut yang
menutupi mata Ryeowook agar ia bisa lebih leluasa menatap wajah polos
itu. Kemudian tangannya turun untuk mengelus pipi kurus Ryeowook.
“Ppabo,
kau jadi makin kurus.” Bisik Yesung masih sambil tersenyum.
Tiba-tiba
Ryeowook bergerak. Ia menggeliat dan membuat Yesung panik luar biasa.
Ia langsung berdiri dan lari ke arah pintu. Sialnya, Kyuhyun dan
Sungmin mengunci pintu dari luar yang membuat Yesung terperangkap di
kamar itu berdua dengan Ryeowook.
Reaksi
Yesung agak berlebihan juga sebenarnya. Mengingat Ryeowook hanya
terbangun dari tidurnya dan bukannya hendak membunuh Yesung.
Yahh…kita lanjutkan saja.
Ryeowook
duduk di ranjang sambil mengucek matanya, membuatnya terlihat semakin
imut. Tapi justru hal itu membuat Yesung mengangkat kedua tangan dan
sebelah kakinya dengan ekspresi seperti hendak ditangkap polisi dan
merapatkan diri ke pintu.
“Sungmin-hyung…”
panggil Ryeowook.
Yesung
makin merapatkan diri ke pintu. Berharap itu bisa membuatnya tidak
terlihat.
Ryeowook
menoleh ke ranjang seberang dan melihatnya kosong. Lalu ia menoleh ke
arah pintu dan terkejut melihat sesuatu, tepatnya seseorang, berdiri
dengan ekspresi dan pose aneh di sana.
“Ye…Yesung-hyung??”
Dan entah kenapa Ryeowook reflek menutupi seluruh tubuhnya dengan
selimut. “Ke…kenapa kau di sini?”
“A…aku…”
Yesung tergagap seolah baru ketahuan melakukan kriminalitas.
“Aku…hanya ingin melihatmu.”
“Melihat?
Apa yang kau lihat?” Ryeowook makin menutupi tubuhnya dengan
selimut.
“Yakk!”
Yesung mulai merasa ada yang salah. “Aku tidak berbuat
macam-macam.”
“Lalu
apa yang kau lakukan di situ dengan pose itu?” interogasi Ryeowook.
Yesung
tersadar dan melihat keadaannya. Ia menurunkan tangan dan kedua
kakinya lalu menggaruk kepalanya meski tidak gatal. “Aku kaget saat
kau mendadak bangun tadi.”
Ryeowook
sendiri juga sepertinya mulai sadar posisi mereka. Ia menurunkan
selimut yang menutupi tubuh bagian atasnya lalu tertunduk malu dan
kikuk.
Yesung
menghampirinya dan duduk di tepi ranjang Sungmin yang digunakan
Ryeowook. “Bisa kita bicara?”
Ryeowook
menatap Yesung sekilas lalu menunduk lagi. Ia teringat kalimat
Kyuhyun saat makan malam tadi. Mungkin memang ia harus segera bicara
dengan Yesung. Ia tidak bisa terus-terusan egois menghindari Yesung
agar tidak merasa bersalah.
Perlahan
Ryeowook mengangguk, menjawab pertanyaan Yesung tadi. Membuat namja
yang lebih tua darinya itu menghela napas lega.
“Apa
kau ada masalah?” Yesung dengan hati-hati memulai.
Ryeowook
terdiam sebentar. “Sebenarnya aku tidak tahu ini bisa disebut
masalah atau tidak. Yang jelas…”
Ryeowook
berhenti dan menatap Yesung yang ternyata juga memperhatikannya
lekat-lekat.
“Lanjutkan.”
kata Yesung lembut.
“Yang
jelas…” Ryeowook menghela napas. “…ini tentang kita.”
Ekspresi
Yesung sedikit berubah serius.
“Hyung,
aku…” Ryeowook menunduk lagi. Rasanya sangat sulit mengatakan ini
pada namja di hadapannya ini.
“Katakan
saja,” Yesung menangkap pipi kiri Ryeowook. “Kita bicara
pelan-pelan.”
Mendapat
perlakuan seperti ini, ditambah senyuman yang terlukis di wajah
Yesung, Ryeowook semakin tidak tega mengatakannya. Tapi ia tidak
punya pilihan lain, ia tidak bisa menyembunyikan hal ini selamanya.
“Appa…memintaku
menikah.” kata Ryeowook lirih.
Yesung
terhenyak. Hal yang paling ia takutkan sejak dulu akhirnya datang.
“Memang
tidak sekarang, Hyung. Tapi ayah memintaku mulai memikirkannya.”
Yesung
masih terdiam. Tangannya yang sedari tadi ada di pipi Ryeowook
diturunkan dan ia menunduk. Dan Ryeowook menyadari perubahan ekspresi
hyung yang disayanginya itu. Ia menggigit bibir bawahnya.
“Karena
itu, Hyung,” Suara Ryeowook bergetar. “Aku berusaha
menyembunyikannya.”
Yesung
perlahan menatap dongsaeng-nya yang hampir menangis itu.
“Kau…”
kata Yesung lemah. “…sudah memiliki seseorang…”
“Tidak!!”
potong Ryeowook cepat. “Tidak ada. Selain Hyung, tidak ada.”
Bahkan
meskipun Ryeowook mengatakannya sungguh-sungguh, itu tidak bisa
lantas mengobati apa yang Yesung rasakan saat ini.
Suasana
kamar hening selama beberapa saat. Ryeowook masih menunggu Yesung
mengatakan sesuatu, sedang Yesung masih menunduk menatap lantai
dengan galau.
Jujur,
Yesung bisa saja egois dengan meminta Ryeowook tetap menjadi miliknya
dan menolak keinginan ayahnya untuk menjaga perasaannya sendiri.
Karena baginya, Ryeowook sudah lebih dari segalanya. Seseorang yang
benar-benar ia percaya untuk mejaga hatiya, dan ia yakin semua akan
berbeda jika yang mendampinginya bukan Ryeowook.
Tapi
ia tidak bisa tidak memperdulikan posisi Ryeowook. Sebagai putra
tunggal di keluarganya, Ryeowook harus bisa meneruskan garis
keluarganya. Ia harus menikah dengan seorang yeoja dan mendapatkan
keturunan. Agar keluarganya dapat melanjutkan tradisi. Dan Yesung
tidak bisa mengabaikan itu.
Lalu
keheningan terpecah saat Yesung mendengar isakan kecil. Ia menoleh
cepat dan mendapati Ryeowook menangis dengan kepala di antara kedua
lututnya.
“Ryeowook-ah…”
kata Yesung lirih.
“Mianhaeyo…”
ucap Ryeowook di antara isaknya. “Mianhae…”
Yesung
mendekat dan merengkuh tubuh yang gemetar itu. “Ssstt…gwaenchana.”
Yesung
bisa merasakan Ryeowook menggeleng dalam pelukannya. “Anni…hik…Hyung
angwaenchana.”
“Aku
tidak apa-apa.” Yesung berusaha tersenyum.
“A…anni…”
Ryeowook berkeras. “Aku tahu Hyung…Hyung tidak baik-baik saja.”
Yesung
melepas pelukannya. Ia menangkap kedua pipi Ryeowook dengan
tanggannya. Ia menghapus jejak-jejak airmata di wajah manis itu
sambil tersenyum.
“Ryeowookie,
lihat aku.” kata Yesung.
Masih
terisak, Ryeowook mengangkat wajahnya dan menatap mata kecil Yesung.
Dilihatnya Yesung tersenyum.
“Aku
baik-baik saja, ne?” kata Yesung. “Bukankah kau bisa lihat
sendiri?”
Ryeowook
menggeleng. “Tidak dengan apa yang ada di dalam.”
Yesung
masih tersenyum. “Selama aku masih bisa melihatmu tersenyum, yang
ada di dalam diriku juga akan bahagia.”
Ryeowook
hanya bisa terisak.
“Jadi
jangan menangis lagi. Jebal, uljima.”
Ryeowook
menghapus airmatanya, mencoba menahan tangisnya.
“Jika
ayahmu menginginkannya, kau harus melakukannya,” tambah Yesung.
“Itu kewajibanmu.”
Ryeowook
kembali menangis. “Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana dengan kita?”
Yesung
masih belum lelah tersenyum. “Aku? Aku akan tetap ada di sampingmu.
Melindungimu, juga istrimu nanti, juga anakmu.”
Mendengar
kalimat terakhir Yesung, Ryeowook semakin sedih.
“Aku
akan bersamamu sampai kapanpun.” Yesung memeluk Ryeowook lagi.
Ryeowook
hanya bisa mencengkeram kuat kaos Yesung. Ia tahu Yesung terluka,
lebih daripada dia. Ia tahu senyum itu akan berganti tangisan jika
Yesung ada di lain tempat dan tidak sedang bersamanya.
“Jadi
kau jangan khawatir,” Yesung menepuk-nepuk punggung Ryeowook
sayang. “Aku akan baik-baik saja.”
Tidak
mau melukai Yesung lebih dalam, akhirnya Ryeowook mengangguk agar
Yesung lega.
“Jadi
tolong berjanjilah padaku untuk tetap dan selalu tersenyum seperti
biasa,” kata Yesung. “Kalau tidak, sama saja kau menyakitiku.”
Ryeowook
melepaskan pelukan Yesung lalu mengangguk lagi. Yesung tersenyum
melihatnya dan sekali lagi mengusap jejak airmata Ryeowook.
“Juga…”
lanjut Yesung. “Bolehkah aku minta satu hal lagi?”
“Apapun,”
jawab Ryeowook cepat. “Apapun maumu, Hyung, aku akan
mengusahakannya. Lebih dari satu pun tak apa.”
“Ijinkan
aku tetap memilikimu sampai kau menemukan orang lain –yeoja— yang
kau pilih.” Kali ini tidak bisa lagi membohongi perasaannya, ia
tersenyum sedih setelah mengatakan permintaannya itu.
“Apa
maksudmu, Hyung? Tentu aku masih milikmu,” Giliran Ryeowook
sekarang yang memenjarakan pipi Yesung dengan kedua tangannya. “Jadi
jangan bicara macam-macam seperti perpisahan.”
Yesung
terkekeh kecil. “Ne, gomawo.”
Ryeowook
menatap Yesung lekat-lekat. “Mianhae…”
“Berhentilah
minta maaf.” Ekspresi Yesung berubah serius. Kembali ditangkapnya
sebelah pipi Ryeowook sambil mendekatkan wajahnya.
“Saranghae,
Hyung.” Desah Ryeowook sebelum bibirnya dibungkam Yesung dalam satu
ciuman.
Kali
ini Ryeowook tidak berniat menolak. Ia dengan segera memeluk tubuh
kekar Yesung. Menyerah tanpa perlawanan saat Yesung menidurkannya di
ranjang.
“Nado
saranghae…” balas Yesung di sela-sela ia mengambil nafas untuk
kembali melanjutkan ciumannya.
Ryeowook
merenggut rambut Yesung saat namja itu menjilat bibir bawahnya,
meminta persetujuan untuk pengeksplorasian lebih jauh. Dan tanpa
protes Ryeowook memberikan akses untuk lidah Yesung bergerilya dalam
mulutnya.
Dengan
lembut dan perlahan Yesung menuntun Ryeowook ke dunia abstrak dengan
saling berbagi kehangatan. Memenuhi kamar Kyuhyun dan Sungmin dengan
banyak lenguh dan desah mesra dari kegiatan mereka yang sepertinya
akan berlangsung sepanjang malam.
Dan
dua namja yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka dari luar,
Kyuhyun danSungmin, kini mulai salah tingkah saat mendengar kedua
namja di dalam kamar mereka mulai melakukan hal yang lebih jauh.
Sungmin
yang wajahnya masih belepotan airmata gara-gara mendengar percakapan
Ryeowook dan Yesung tadi membenarkan bajunya sambil sesekali melirik
Kyuhyun. Sementara yang dilirik justru menatapnya tanpa berkedip.
“A…aku…ke
kamar mandi sebentar.” Sungmin segera melangkahkan kakinya menjauhi
Kyuhyun. Namun tangan Kyuhyun bergerak cepat dengan menahan lengan
Sungmin.
Sungmin
menoleh kaget. “W…wae?”
Mata
Sungmin membelalak saat Kyuhyun dengan cepat menjilat airmata di
pipinya.
“K—Kyu!!”
seru Sungmin yang langsung dibungkam oleh telapak tangan besar milik
Kyuhyun.
“Kau
tidak mau dua orang di dalam kamar kita ketahuan kita menguping
kan?!” bisik Kyuhyun menggoda di telinga Sungmin.
Sungmin
bisa merasakan keringat dingin mengalir ke pelipisnya.
“Let’s
play a game.” Kyuhyun menyeringai lalu menggendong Sungmin ala
bridal dan membawanya ke kamar Yesung dan Ryeowook.
“Kyuhyun-ah,
chamkkam… Andwae!!”
Dan
pintu kamar pun berdebam menutup.
===END===
---------------------------------------------------------------------------------------------
Fiuuuuuhh…
*usap keringat*
Kelar
juga akhirnya fic YeWook perdana saya. Kekekekekekeke.. Perjuangan
juga ngetiknya berhubung kopel ini jarang banget punya moment. Tapi
untunglah bisa selesai
Ga
bisa ngomong apa-apa dehh. Makasih untuk yang udah mampir dan baca.
Ditunggu komen-komennya ya?! Gamsahamnida… Annyeoooong!!!
*lambai-lambai bareng Ryeowook*
by :
KeN
komentar (0)
Note : Typos, bahasa kacau, membingungkan, aneh,
geje, dan lain sebagainya.
Disclaimer : When You Need To Forget #2 (c) Ken
Cast : Lee Donghae – Lee Hyukjae
Kim Yesung – Kim Ryeong
Choi Siwon
Genre : Angst/Fluff
Rating : 17+ (cari aman)
Rules (harus
dibaca) :
1. Tag random, yang ga suka langsung REMOVE dan BANTING SETIR; 2. DILARANG
COPAS dan BASH; 3. WAJIB MENINGGALKAN
JEJAK dalam bentuk apapun!!
Happy read :))
_________________________________________________________________________
“Tiketnya sudah siap, Hyung.” kata Ryeowook saat Donghae
meneleponnya malam itu.
“Ne, gomawo..” balas Donghae sambil memasukkan beberapa potong
baju ke koper besar.
“Euung…Hyung..”
“Aku akan tetap pergi,” Donghae tersenyum meski Ryeowook tidak
melihatnya. “Sekuat apapun kau dan Yesung-hyung akan menahanku nanti.”
“Apakah yang seperti ini benar?” Suara Ryeowook terdengar
seperti bisikan di telinga Donghae.
“Entahlah…” Donghae duduk di tepi ranjang. “Tapi yang jelas, aku
sudah lelah.”
.:oOo:.
Eunhyuk berdecak resah untuk kesekian kalinya sambil mengulangi
panggilan teleponnya pada Donghae.
“Lee Donghae, jebal…angkat teleponnya!” keluhnya.
Dan untuk sekian kali mesin penerima pesan yang menjawabnya.
“Yak!! Lee Donghae!” Eunhyuk meneriaki handphone-nya. “Wae
geurae?”
Sementara di lain tempat, Donghae menatap diam handphone-nya
yang berkali-kali bergetar. Memandangi nama Eunhyuk yang muncul di layar lalu
tersenyum miris.
“Dengan begini, kau akan membenciku dan lebih mudah melupakanku
nanti, Hyukkie.”
.:oOo:.
Eunhyuk meniupi telapak tangannya yang hampir beku gara-gara
dinginnya musim salju. Matahari sudah hampir tenggelam saat ia berjalan di trotoar sambil sesekali menoleh
ke belakang kalau-kalau ada taksi yang bisa diberhentikan. Namun sedari tadi,
tidak ada satupun taksi yang mau berhenti untuknya. Parahnya, ini bukan jalur
dimana bis bisa lewat. Praktis Eunhyuk harus mengandalkan kakinya untuk
berjalan.
Setelah hampir tiga hari Donghae menolak untuk menjawab
panggilannya atau membalas sms, Eunhyuk memutuskan untuk mendatangi apartemen
namja itu. Ia merasa harus meluruskan segalanya.
Termasuk mungkin perasaannya. Tiga hari ini, dia hampir dibuat
gila karena kelakuan Donghae itu. Padahal sebelumnya, ia tidak pernah merasakan
hal yang seperti ini jika tengah bertengkar dengan Sungmin-hyung nya.
“Sungmin-hyung mu?” Eunhyuk mengatai dirinya sendiri. “Dia bukan
milikmu lagi, Lee Hyukjae.”
Eunhyuk kembali teringat malam itu saat ia meminta bertemu
dengan Donghae di guyuran salju yang lebat. Malam itu Donghae berkata kalau
Eunhyuk salah mengartikan perasaan Sungmin padanya.
Dan setelah memikirkannya, Eunhyuk menyadari bahwa mungkin
kalimat Donghae benar. Sungmin memang menyayangi dan mencintainya, tapi itu
mungkin karena Sungmin adalah kakaknya. Dan di belahan dunia manapun, tidak ada
kakak yang tidak menyanyangi adiknya.
Eunhyuk tersenyum kecil. Bagaimana selama ini dia bisa
mengabaikan Donghae untuk perasaan yang konyol seperti ini?
Donghae…
Kembali Eunhyuk teringat namja itu. Apa alasan Donghae tidak mau
berhubungan lagi dengannya adalah karena malam itu?
Eunhyuk kembali menyentuh leher kirinya dimana Donghae pernah
meninggalkan ‘tanda’nya di sana. Ia sedikit tersipu jika mengingatnya, tapi itu
sama sekali tidak menghapus ekspresi sedih yang sejak tadi tercermin di
wajahnya.
Dan lagi, perasaan macam apa ini? Perasaan ini berbeda dengan
apa yang dialami sebelumnya. Kenapa rasanya ada yang hilang begini?
Eunhyuk menyentuh jantungnya yang berdetak. Rasa nyerinya pun
berbeda dari sakit yang disebabkan keputusan Sungmin untuk menikahi Cho
Kyuhyun. Sebenarnya ini apa?
.
.
.
.
Yesung menahan koper Donghae saat namja itu berniat
mengambilnya. “Jangan seperti anak kecil, Donghae-ya.”
Donghae mendongak menatap wajah namja yang sudah dianggapnya
kakak itu. “Hyung yang bilang kan kalau aku selalu seperti anak kecil. Harusnya
Hyung tahu kalau aku akan selalu seperti ini.”
“Ini tidak lucu.”
“Aku juga sedang tidak melucu.”
“Ckk,” Yesung berdecak sambil menatap ke arah lain. “Kau… Apa
ini tentang Lee Hyukjae?”
Donghae tersenyum dan mengambil koper dari tangan Yesung. “Kalau
semua ini tentang Kim Ryeowook, sudah pasti aku kau bunuh, Hyung.”
Yesung mencengkeram kerah baju Donghae dengan tangan kirinya.
“Kau tahu aku sedang tidak bercanda.”
Donghae menutup mata. “Aku tahu, Hyung.”
“Kubilang berhenti bersikap kekanakan dan hadapi masalahmu!”
“Sudah berakhir, Hyung.”
Yesung tertegun.
“Sekuat apapun aku menunjukkan padanya tentang perasaanku, dia
tidak akan membuka hatinya untukku.”
Yesung melepaskan kerah baju Donghae. “Tapi itu bukan berarti
kau bisa melarikan diri begini.”
“Maumu?” Ekspresi Donghae mulai menunjukkan emosi. “Aku harus
tetap di sini, mengorbankan perasaanku setiap kali Eunhyuk menyebut nama
Sungmin, mengatakan berulang kali bahwa Eunhyuk menyukainya? Itu maumu, Hyung?”
Yesung terdiam.
“Kalau kalian ingin aku mati, akan kulakukan!”
Yesung menghela napas.
“Kau tidak tahu rasanya, Hyung!” Donghae mencengkeram pegangan
kopernya erat-erat. Berusaha mengendalikan emosinya.
“Lalu?” Yesung memutar otak untuk memilih kata yang bagus agar
tidak memperkeruh suasana. “Kau sendiri yang bilang kalau Sungmin-ssi akan
menikah dengan Kyuhyun-ssi.”
Donghae tidak menjawab.
“Sekarang kau mau pergi. Lalu bagaimana dengan Eunhyuk?” lanjut
Yesung.
Donghae sudah membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Yesung.
Namun kemudian ia seperti mengingat sesuatu dan akhirnya menunduk, menatap
lantai porselen kamarnya.
“Kau akan meninggalkannya juga?”
“Dia punya keluarga.” kata Donghae.
“Tapi tidak bisa setiap saat Eunhyuk bisa pulang.”
Donghae terdiam.
“Bagaimana jika dia membutuhkan sesuatu…anni…seseorang?
Seseorang yang bisa berada di sampingnya saat suasana hatinya tidak menentu.”
“Kenapa harus aku?” Donghae masih menatap lantai. “Dia bisa saja
menemukan orang lain dan jatuh cinta lagi. Orang yang seperti katamu, selalu
berada di sampingnya saat ia butuh.”
“Kalau menurutmu jatuh cinta bisa segampang itu, kenapa hampir
20 tahun ini kau memutuskan untuk hanya menyukai seorang Lee Hyukjae. Kau
mungkin bisa saja menyukai orang lain saat masih sekolah atau kuliah. Tapi kau
tidak melakukannya kan?!”
“Aku…”
“Bagaimana jika sebenarnya Eunhyuk memiliki perasaan yang sama
denganmu, hanya saja belum bisa menyadarinya?”
Donghae tersenyum miris. “Tidak mungkin.”
“Tidak mungkin? Lalu telepon dari siapa yang 3 hari ini tidak
mau kau terima?”
.
.
.
.
Eunhyuk merentangkan sebelah tangannya untuk menghentikan taksi
untuk kesekian kali. Namun memang sepertinya semua taksi tidak mau berbaik hati
padanya. Lagi-lagi taksi yang ia berhentikan sudah berpenumpang dan melaju
meninggalkannya begitu saja.
“Aisshhh… Apa semua mobil di Korea sedang rusak?” Eunhyuk
menghentakkan kakinya sebal. “Kenapa semua orang naik taksi sih?”
Ia menarik handphone dari saku celananya. Menatap layar
ponselnya yang sepi tanpa pemberitahuan.
Ia menekan tombol yang menghubungkannya ke kontak handphone.
Mencari nama Lee Donghae. Namun begitu nama itu ditemukan, ia hanya menghela
napas.
“Mungkin dia tidak akan menerimanya lagi.”
Eunhyuk menatap langit yang makin gelap.
.
.
.
.
“Aku tetap akan pergi, Hyung.” Kata Donghae mantap. “Lagipula,
Hangeng-hyung bilang pekerjaan di sana sangat menjanjikan.”
“Jangan bawa-bawa Hangeng-hyung sebagai tameng alasanmu yang
sebenarnya untuk melarikan diri dari Lee Hyukjae!”
“Berhenti menyebut namanya!”
“Kenapa?” Yesung menantang. “Jangan membohongi perasaanmu, Donghae-ya?!”
.
.
.
.
Eunhyuk menatap ponselnya lagi yang masih memampangkan nama
Donghae. Jarinya bergetar saat hendak menekan layar touchscreen-nya. Eunhyuk
memejamkan matanya erat.
.
.
.
.
“Kau akan menyesal pernah melakukan ini.” kata Yesung.
“Tidak akan ada yang perlu kusesali. Semuanya akan baik-baik
saja, hanya butuh waktu.”
Yesung merasa emosinya sudah naik ke kepala. “Waktu? Berapa lama
waktu yang kau bilang barusan?”
Donghae tidak bisa menjawab lagi.
“Bagaimana jika waktu yang kau bilang itu lebih dari seabad?
Tegakah kau menyakiti dirimu sendiri seperti itu?”
DRRRT… DRRRT…
Yesung menatap ponsel yang bergetar di tangan kanan Donghae.
“Kurasa kau akan jadi pengecut dengan tidak mengangkatnya lagi.”
cemooh Yesung.
Donghae menyejajarkan layar handphone-nya dengan matanya, dan
benar! Nama Eunhyuk tertulis di layar.
“Kalau memang keputusanmu seperti itu, silakan saja melarikan
diri. Toh, aku di sini hanya membantumu membuat pertimbangan. Kalau semua yang kukatakan
tidak bisa membuatmu bergeming, apa lagi yang bisa kulakukan?” Yesung
membalikkan badan dan keluar dari kamar Donghae. “Aku tunggu di luar. Pesawatmu
jam setengah delapan kan?!”
Yesung menutup pintu, meninggalkan Donghae yang masih menatap
layar handphone-nya. Haruskah ia mengangkatnya? Atau seperti kata Yesung –yang
sialnya harus ia akui—, ia hanya akan menjadi pengecut dengan tetap menghindari
Eunhyuk seperti ini.
.
.
.
.
Eunhyuk tersenyum miris sambil memutus panggilannya pada
Donghae. “Sudah jelas kan?! Dia tidak ingin mengenalmu lagi, Lee Hyukjae?!”
Sungguh, bahkan dengan Sungmin pun dia tidak pernah merasa
semenyiksa ini. Namun ia juga tidak bisa seratus persen menyalahkan Donghae.
Wajar jika namja itu menghindarinya. Bahkan mungkin seharusnya Donghae sudah
melakukannya dari dulu.
“Lee…Hyukjae-ssi?”
Eunhyuk mendengar seseorang menyebut namanya. Buru-buru ia
menghapus airmata yang menggenang di matanya, kemudian berbalik.
Seorang laki-laki duduk di dalam sebuah mobil Lamborghini mewah
yang berhenti di tepi jalan. Eunhyuk merasa pernah mengenal orang itu. Namun
berhubung ingatannya yang terbatas, jadilah ia hanya mengernyit karena sama
sekali tidak mengingat apapun.
“Ternyata benar.” Laki-laki muda itu turun dari dalam mobilnya.
“Sudah lupa aku siapa?”
Eunhyuk membungkuk sedikit saat namja itu sudah di hadapannya.
“Jeongmal mianhaeyo. Ingatanku buruk.”
Namja itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya. “Kalau begitu
kita berkenalan sekali lagi.”
Eunhyuk menerima jabat tangan itu.
“Choi Siwon. Rekan OSIS-mu di SMU.”
Mata kecil Eunhyuk melebar. “Ahh, ne!! Aku ingat!”
Namja bernama Choi Siwon itu tersenyum. “Kau banyak berubah.”
Eunhyuk hanya tersenyum.
“Apa yang kau lakukan di luar jam segini?”
“Aku berencana ke apartemen Donghae. Kau mengenalnya kan?!”
“Ya.” Siwon sedikit mengingat. “Dia orang yang ngotot masuk tim
basket SMA.”
Eunhyuk tersenyum mengingat kejadian saat sekolah dulu. “Dan dia
tidak pernah diterima sekeras apapun dia berusaha karena tingginya.”
Siwon tertawa. “Tapi kuakui permainannya bagus.”
Eunhyuk mengangguk lalu menunduk.
“Kau tidak bawa kendaraan? Kenapa tidak naik taksi?” tanya Siwon
lagi.
“Itu dia,” Eunhyuk memasukkan handphone ke saku celananya lagi.
“Tidak ada satupun taksi kosong dari tadi. Terpaksa aku jalan kaki.”
Siwon memutar bola matanya, terlihat berpikir. “Kalau searah,
bagaimana kalau kau naik mobilku saja?!”
“Eh? Bolehkah?”
.
.
.
.
Tak ada suara dalam mobil yang dikemudikan Yesung untuk
mengantar Donghae ke bandara. Baik Yesung atau Donghae sibuk dengan pikiran
masing-masing. Mungkin bagi Yesung akan lebih baik dia diam dan tidak berkata
apapun yang akan memancing emosi Donghae lagi.
Memang Yesung sama sekali tidak menyukai keputusan Dongahe
meninggalkan Korea hanya karena perasaannya yang tidak berbalas pada Eunhyuk.
Tapi ia juga sadar kalau selama ini Donghae banyak berkorban tanpa hasil.
Yesung melirik Donghae yang menunduk menatap layar handphone-nya
menggelap.
“Menunggu dia meneleponmu?”
Donghae sedikit terkejut dan menatap Yesung yang sudah kembali
konsentrasi ke jalan raya.
“Kau sudah mengacuhkannya. Kurasa siapapun yang mendapat
perlakuan seperti itu akan menyerah pada akhirnya dan memilih melupakan orang
yang mengacuhkannya itu.” sambung Yesung.
Donghae menatap menatap layar handphone-nya lagi.
“Kurasa kau benar,” Yesung kembali memancing Donghae. “Tidak
akan sulit bagi Lee Hyukjae untuk jatuh cinta lagi. Dia juga tidak mungkin
selamanya memikirkanmu.”
Donghae menoleh ke jendela di sebelah kanannya. “Ya, itu tidak
sulit.”
.
.
.
.
“Belok kiri di pertigaan di depan.” kata Eunhyuk memberi
instruksi saat mobil Siwon mendekati lampu merah.
Siwon mengikuti arah yang dimaksud Eunhyuk. “Sepertinya kau dan
Donghae-ssi masih tetap berhubungan baik selepas masa SMA.”
Eunhyuk menoleh ke arah Siwon. Agak terkejut dengan kalimat
namja itu barusan.
“Sebenarnya kami sudah berteman sejak kecil,” jawab Eunhyuk.
“Kami selalu sekolah di tempat yang sama. Entah kebetulan atau apa.”
Siwon mengangguk-angguk mendengarkan cerita Eunhyuk sambil
sesekali melirik spion dan berkonsentrasi ke jalan.
Eunhyuk menunduk menatap layar handphone-nya.
“Kenapa tidak meneleponnya untuk menjemput?” Lagi-lagi
pertanyaan inosen Siwon mengejutkan Eunhyuk. Kali ini ditambah rona merah yang
mendadak muncul di wajahnya. Untung Siwon tidak sedang menatapnya, jadi Eunhyuk
juga tidak perlu repot untuk menutupinya.
“Sebenarnya kami sedang ada masalah.” kata Eunhyuk lirih.
Siwon tidak merespon dan memilih untuk memperhatikan Eunhyuk
dari ekor matanya.
“Karena itu aku ingin bertemu dengan Donghae,” lanjut Eunhyuk.
“Dia tidak menjawab telepon atau pesanku. Jadi agak susah situasinya sekarang.”
Tak ada suara untuk beberapa saat. Siwon sepertinya sedikit
merasa bersalah karena bertanya yang tidak-tidak. Sedang Eunhyuk sendiri sibuk
menatap handphone-nya lagi.
“Kita akan segera sampai.” ujar Siwon singkat.
Eunhyuk tersenyum. “Tidak perlu buru-buru.”
.
.
.
.
Donghae dan Yesung mendongak menatap list keberangkatan.
Terlihat di sana pesawat yang akan berangkat ke Cina akan diundur setengah jam.
Juga barusan ada pemberitahuan bahwa pihak bandara menerima laporan akan turun
salju lebat.
“Kau ingin aku tetap di sini atau bagaimana?” Yesung menoleh
pada Donghae yang masih mengamati papan list keberangkatan.
Donghae berpikir sejenak sebelum menjawab, “Hyung pulang saja
sebelum salju turun.”
Yesung mengamati Donghae sejenak. “Yakin?”
Donghae mengangguk. “Lagipula Ryeowook juga sendirian di
apartemenku. Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang yang datang ke apartemenku
dengan maksud jahat dan Ryeowook dengan sifatnya yang polos itu mengijinkannya
masuk? Bisa saja dia akan terjadi sesuatu yang buruk padanya.”
Agaknya mimik muka Yesung sedikit berubah khawatir karena
pernyataan Donghae barusan. Padahal itu akal-akalan Donghae saja agar hyung-nya
itu segera pulang dan dia bisa bebas sendirian dengan perasaan dan pikirannya.
“Dia juga tidak sepolos itu.” Yesung membela kekasihnya yang
jauh di sana.
Donghae melipat tangannya. “Kalau aku jadi kau, Hyung. Aku akan
pulang dari pada membuang tenaga menunggu pesawat dengan seseorang yang
mendengarkan nasehatmu saja tidak.”
Yesung menggigit bibir bawahnya, tampak dilema.
“Yahh, aku hanya memberikan saran.” kata Donghae sambil
pura-pura memeriksa kelengkapan paspornya.
“Kau yakin tidak butuh apapun dariku?” Sepertinya Yesung masuk
perangkap Donghae.
Donghae hanya tersenyum dan menggeleng. “Aku akan mengirim sms
sebelum masuk pesawat nanti juga setelah aku tiba di Cina.”
Yesung merapatkan jaket tebalnya. “Baiklah, aku pulang dulu.”
“Hati-hati.” pesan Donghae sambil menepuk lengan Yesung dengan
paspornya.
“Telepon aku jika sudah sampai di Cina!” seru Yesung sambil
berjalan mundur ke arah pintu keluar.
“Arasseo.” seru Donghae balik.
Donghae menatap punggung Yesung yang setengah berlari. Namja itu
berbelok setelah pintu keluar otomatis menutup dan seketika menghilang dari
pandangan Donghae.
Donghae menghela napas. Lewat kaca-kaca tinggi bandara, Donghae
menatap langit kelam yang mulai menurunkan butiran salju satu demi satu.
Pikirannya melayang, dan kita tahu kemana arahnya.
.
.
.
.
Eunhyuk menutup pintu mobil Siwon saat ia sudah sampai di tempat
yang ia ingin tuju, apartemen Donghae.
“Terimakasih.” katanya saat Siwon membuka kaca di pintu mobil.
Siwon mengangguk sambil tersenyum. “Cepat selesaikan masalahmu
dengan Donghae-ssi.”
Giliran Eunhyuk yang tersenyum.
“Aku memang tidak terlalu mengenalnya, tapi aku yakin
Donghae-ssi bukan orang yang akan memperpanjang suatu masalah.” tambah Siwon.
“Semoga.” Nada Eunhyuk mengambang.
Siwon sekali lagi tersenyum. “Geurae, aku duluan.”
“Ne, sekali lagi terima kasih banyak.” Eunhyuk sedikit
membungkuk.
“Yak, santai saja.” Siwon memasukkan gigi mesin mobilnya.
“Hati-hati.”
Siwon hanya membalas dengan telapak tangan membentuk chicken
claw favoritnya lalu mulai menjalankan mobilnya menjauh.
Eunhyuk menghela napas sambil mengawasi mobil Siwon yang
perlahan meninggalkannya. Ia mendongak saat menyadari satu demi satu salju
mulai turun.
Ia tergugah dari lamunannya, lalu membalikkan badan dan menapaki
satu per satu tangga depan bangunan tinggi menjulang dimana salah satu
ruangannya adalah milik Donghae.
Dua namja yang bekerja di sana membungkuk saat Eunhyuk memasuki
bangunan. Dari sana Eunhyuk memantapkan langkah ke arah lift. Ia menunggu lift turun ke lantai satu
dengan sabar sambil memperhatikan penunjuk angka yang menunjukkan bahwa lift
masih sampai di lantai belasan.
“Eunhyuk-ah?”
Sekali lagi terdengar suara dari belakang telinga Eunhyuk yang
mebuatnya menoleh. Seorang namja dengan jaket tebal warna coklat hampir
menyentuh betis datang mendatangnya. Eunhyuk familiar sekali dengan namja ini.
“Yesung-hyung?”
“Kau…” Yesung, namja yang memanggil Eunhyuk tadi, tidak bisa
meneruskan kalimatnya.
“Aku ingin bertemu Donghae.”
Mata sipit Yesung melebar.
“Aku telepon dan sms dia beberapa hari ini tapi tidak direspon.
Jadi aku memutuskan ke sini saja.” Eunhyuk tersenyum.
Yesung benar-benar tidak tahu bagaimana harus menyampaikan apa
yang terjadi saat ini.
“Apa dia menceritakan sesuatu padamu, Hyung?” Eunhyuk
menyelidik. “Apa dia marah padaku?”
Yesung menatap Eunhyuk serius.
“Ada apa, Hyung? Tidak terjadi sesuatu pada Donghae kan?!”
Melihat ekspresi yang tergambar di wajah Yesung, Eunhyuk jadi khawatir.
“Eunhyuk-ah, dengarkan aku baik-baik,” Yesung memulai. “Donghae
akan ke Cina. Dia naik pesawat yang berangkat malam ini. Aku tidak tahu
tepatnya jam berapa, tapi kalau dari pemberitahuan terakhir dari pihak bandara
yang kudengar, harusnya sekitar setengah jagiam .”
Eunhyuk terhenyak.
“Kurasa tidak ada cukup
waktu untuk ke bandara. Tapi…Eunhyuk-ah!!” Yesung berseru saat dengan cepat
Eunhyuk berlari melewatinya menuju pintu keluar. Ia hendak mengikuti saat
ponsel di sakunya bergetar. Yesung mengambilnya dan melihat layar ponselnya
dimana tertera nama Ryeowook.
Eunhyuk kembali turun ke jalan. Dengan panik ia berlari
menyusuri trotoar. Donghae-ah!!
.
.
.
.
Donghae menoleh saat merasa ada yang memanggilnya dan sangat
mirip dengan suara Eunhyuk. Namun tak ada sosok yang ia cari ke arah manapun
Donghae menoleh.
Ia tersenyum. “Kau menyihirku sampai separah ini, Lee Hyukjae.”
“Pesawat dengan nomor penerbangan XXXXX-0598 dengan tujuan keberangkatan
ke Cina akan lepas landas pada pukul 20.58. Harap kepada calon penumpang untuk
mempersiapkan diri dan masuk lewat gate A.”
(A/N : Saya ga tau itu cara penyampaian informasi di bandara
kaya’ gimana, jadi saya nulisnya asal aja. Hehe..)
Donghae mendengarkan pengumuman dengan seksama sebelum mengambil
handphone-nya untuk mengirim pesan pada Yesung. Namun baru akan digunakan
mendadak layar handphone-nya menggelap.
“Yak!” kata Donghae pada handphone-nya. “Bagaimana kau bisa
habis baterai mendadak begini?”
Sambil berdecak Donghae mengembalikan handphone ke saku
mantelnya lalu mulai menarik kopernya.
.
.
.
.
Eunhyuk berhenti di pinggir jalan untuk mengatur napas. Ia
kehabisan tenaga untuk berlari sedangkan jarak bandara masih jauh. Ia menoleh
ke belakang. Setelah tadi tidak ada taksi yang mau berhenti untuknya, kali ini
justru sama sekali tidak ada taksi yang lewat.
Masih dengan terengah dan mata yang kabur oleh airmata yang siap
mengalir, Eunhyuk berseru, “Tuhan, setelah aku tahu siapa yang BENAR-BENAR
kusukai, tidak bisakah aku menunjukkan perasaanku padanya?”
“Tidak akan bisa jika kau hanya berteriak seperti itu tanpa usaha.”
Eunhyuk terkejut mendengarnya dan menoleh untuk melihat Yesung
dan Ryeowook ada di dalam mobil yang merapat ke tepi jalan.
“Eunhyuk-hyung, ppali!!” seru Ryeoowok membuka pintu.
Eunhyuk tersenyum lega dan bergegas masuk ke dalam mobil Yesung.
.
.
.
.
Donghae mengantri masuk ke gate tempat dia akan naik pesawat
sambil memperhatikan handphone-nya yang mati mendadak tadi. Ia yakin sudah
men-charge penuh sebelum Yesung datang menjemputnya ke apartemen.
“Apa iya baterainya rusak?” Donghae membolak-balik handphone di
tangannya. “Aku beli belum ada setengah tahun.”
.
.
.
.
“Lebih cepat, Hyung!” perintah Ryeowook pada Yesung yang baru
memasukkan gigi mobil.
“Yakk!” Yesung membelokkan mobil di tikungan. “Aku juga tidak
mau makan resiko mencelakakan keselamatan kita dengan menambah speed hingga
maksimal. Ini sudah di luar batas aku biasanya menyetir.”
“Tapi kalau tidak cepat, pesawat Donghae-hyungie bisa lepas
landas duluan.”
Yesung berdecak lalu menambah kecepatan mobilnya.
.
.
.
.
Empat giliran Donghae sebelum petugas bandara mengecek paspor
Donghae.
Entah kenapa dia jadi sering menoleh ke belakang. Berharap
Eunhyuk datang? Yahh, mungkin beberapa persen dari bagian hatinya menginginkan
namja itu mendadak datang dan melarangnya pergi.
Donghae tersenyum. Akan sangat menggelikan kalau hal itu
terjadi. Bahkan Donghae tidak memberitahunya kalau ia akan terbang ke Cina,
rencana ke Cina saja Eunhyuk tidak tahu.
Tiga giliran sebelum petugas bandara mengecek paspor Donghae.
Donghae mencengkeram erat handphone yang ada di tangan kirinya.
Kenapa rasa menyesal mendadak muncul di hatinya? Apa yang dilakukannya pada
Eunhyuk malam itu, sikapnya yang mengacuhkan telepon maupun sms darinya, pergi
tanpa pamit seperti ini.
Namun harus bagaimana lagi? Kau tahu kan bagaimana menyiksanya
bertahan di samping seseorang yang kau sukai tanpa bisa memilikinya? Kau tahu
kan bagaimana sakitnya jika orang yang kau suka mengatakan ia menyukai orang
lain padamu padahal ia jelas-jelas tahu bahwa kau menyukainya? Kau tahu kan?!
Lantas dengan sakit yang bertumpuk itu, masih bisakah Donghae
bertahan tentang Eunhyuk?
Dua giliran lagi sebelum petugas bandara memeriksa paspor
Donghae.
.
.
.
.
Satu belokan terakhir dan bandara akan segera terlihat.
“Ryeowook-ah, coba telepon Donghae!” kata Yesung.
“Ne.” Ryeowook mengeluarkan ponselnya dan mengikuti instruksi
Yesung.
Yesung mulai memperlambat laju mobilnya saat memasuki parking
lot di depan bandara. Makin pelan saat ia menemukan sela untuk mobilnya di
antara dua pick-up.
“Handphone Donghae-hyung tidak aktif.” lapor Ryeowook sambil
mengulangi panggilannya.
“Aissshh…” keluh Yesung sambil masih berusaha memarkirkan
mobilnya.
“Aku turun di sini saja, Hyung!” Eunhyuk melepas safety belt-nya
dan bergegas membuka pintu.
“Yak, yak!! Eunhyuk-ah!!” panggil Yesung saat Eunhyuk sudah
berlari keluar menjauhi mobilnya.
.
.
.
.
“Lee Donghae-ssi?” Seorang petugas membuka paspor Donghae dan
memeriksa kebenaran isinya.
“Nde..” jawab Donghae singkat.
Petugas itu membalik beberapa lembar pasporDonghae sebelum
akhirnya mengangguk dan mengembalikan paspor itu dengan tersenyum. “Semoga
perjalanan Anda menyenangkan.”
Petugas itu sedikit membungkuk sebelum member jalan pada Donghae
untuk lewat. Donghae membalasnya kemudian menyeret kopernya.
.
.
.
.
Eunhyuk memasuki bandara dengan membuka pintu kaca otomatis
dengan tidak sabar. Ia berhenti sebentar sambil menengok ke arah kiri dan
kanan. Ia berlari saat menemukan dimana list penerbangan.
Mata kecilnya melebar saat tahu pesawat ke Cina akan berangkat
kurang dari sepuluh menit lagi. Ia berlari lagi ke arah bagian informasi.
Seorang petugas wanita berdiri dari duduknya saat Eunhyuk mendatanginya.
“Ada yang bisa kami bantu?” sapanya sambil tersenyum.
“Pesawat ke Cina,” Eunhyuk mengatur napas. “Lewat gate mana?”
Petugas itu mengecek di komputer. “Pesawat ke Cina bisa lewat
gate A.”
“Gamsahamnida.” Tak perlu menunggu lama, Eunhyuk kembali berlari
menuju gate yang barusan ditunjukkan oleh petugas bandara.
Ia sempat kebingungan menemukan gate yang dituju sampai akhirnya
ia mendengar seseorang bertanya pada petugas keamanan yang sedang berpatroli.
“Permisi, gate A ada di sebelah mana?” tanya orang itu dan
Eunhyuk memperhatikan dengan seksama.
“Dari sini Anda lurus saja. Gate 4 ada di paling ujung.” Petugas
keamanan itu menunjukkan dengan gerakan tangannya.
Begitu mengetahui posisi gate A, Eunhyuk bergegas menuju ke sana.
Jebal…tunggu sebentar!
Barisan calon penumpang menipis saat Eunhyuk sampai di depan
gate A. Ia meneliti satu per satu penumpang untuk menemukan Donghae yang barang
kali masih ada di barisan. Namun Eunhyuk tak menemukannya. Jadi ia berjingkat
di belakang antrian untuk mencari Donghae di dalam lorong gate yang mungkin
saja masih belum jauh.
Nihil. Bahkan punggung Donghae tidak bisa ia temukan.
Begitu barisan calon penumpang habis, Eunhyuk mendekati petugas
di pintu gate. “Bolehkah saya masuk sebentar?”
“Apakah Anda memiliki paspor untuk penerbangan ini?” tanya salah
satu petugas.
“A—anni. Saya hanya ingin menemui seseorang, sebentar.”
“Maaf, Tuan. Tapi hanya penumpang yang boleh masuk ke
dalam.”kata salah satu petugas.
“Tolonglah, sebentar saja. Lima menit, bukan…tiga menit saja.”
Eunhyuk mengiba. Ia berusaha menerjang, namun dua petugas laki-laki itu
memiliki badan yang lebih besar dari badannya sehingga langkahnya terhenti.
“Maaf, tapi ini sudah kebijakan dari perusahaan kami.”
“Eunhyuk-hyung!!” Ryeowook datang dengan berlari disusul Yesung
di belakangnya.
“Donghae-ah eopseo!” kata Eunhyuk panik pada mereka berdua.
Ryeowook berpaling dari Eunhyuk ke arah dua petugas di depannya.
“Boleh saya minta waktu sebentar?”
Ryeowook diiringi salah seorang petugas menuju sisi lain. Yesung
buru-buru mendatangi Eunhyuk untk menenangkan namja itu. Sementara waktu makin
merapat ke menit 58 lepas dari jam 8 malam.
Tidak sampai lima menit kemudian, Ryeowook kembali ke arah
mereka.
Petugas yang berbicara dengan Ryeowook tadi menghela napas
sejenak sebelum menatap Eunhyuk mantap. “Kami hanya bisa memberi waktu sepuluh
menit. Dan Anda tetap tidak diijinkan masuk ke dalam pesawat.”
Mata Eunhyuk melebar tak percaya. Buru-buru ia mengangguk.
“Kka!” Ryeowook menepuk pundak Eunhyuk.
Sekali lagi Eunhyuk mengangguk sebelum berlari ke arah lorong, menyusul Donghae.
“Aku bahkan lupa kau anak kepala bagian penerbangan.” kata Yesung
tanpa melepaskan pandangan dari Eunhyuk yang makin jauh berlari.
“Kau memang tidak peka, Hyung.” kata Ryeowook sambil tersenyum.
.
.
.
.
Nafas berat Eunhyuk terdengar di lorong bergema itu. Dan sampai
sini ia masih belum menemukan Donghae. Di depan ada belokan terakhir. Kalau
sampai sana Eunhyuk masih belom menemukan Donghae, maka tidak ada lagi yang
bisa ia lakukan.
Eunhyuk hampir sampai di ujung lorong dan masih belum menemukan
Donghae. Laju kakinya makin melambat. Semakin lambat sampai akhirnya ia
berhenti saat matanya melihat landasan pesawat tak jauh darinya.
“Donghae-ah…” panggilnya
lirih.
Eunhyuk berjongkok. Dibiarkan matanya basah hingga membentuk
butiran-butiran airmata yang siap jatuh. Ia menutup wajahnya dengan sebelah
tangannya.
Pupus sudah. Bahkan untuk sekedar mengucapkan kata maaf saja
Eunhyuk tak bisa. Degupan nyeri di dadanya datang lagi. Namja itu merenggut
erat baju bagian dadanya.
“Donghae-ah…” katanya lagi sambil menggertakkan gigi.
Eunhyuk mencengkeram poninya. Airmatanya turun deras sekalipun
ia tidak terisak. Hati kecilnya mengutuk diri sendiri atas tingkah bodohnya
selama ini dan membiarkan Donghae pergi begitu saja.
Tapi bagaimana bisa Donghae pergi tanpa mengatakan apapun
padanya? Apa sakit yang diderita Donghae sudah sedemikian parahnya hingga
mengenal Eunhyuk saja ia sudah tidak mau lagi?
“Pulanglah.”
Demi nama Ddangkoma, Eunhyuk yakin itu suara yang amat sangat
sering ia dengar. Suara yang tiga hari ini absen memenuhi rongga di telinganya.
Eunhyuk mengangkat kepalanya dan menemukan namja yang ia cari
berdiri di depannya. Menunduk menatap wajahnya yang Eunhyuk sendiri yakin pasti
sekarang sudah basah oleh air mata.
“Kau tidak seharusnya di sini.” kata namja itu dengan raut muka
datar.
Eunhyuk berdiri dari jongkoknya. “Ada yang harus kukatakan.”
“Kalau itu hanya untuk menjelaskan tentang perasaanmu pada
Sungmin-hyung dan menolakku, lupakan. Aku tidak mau mendengarnya.”
“Tidak! Donghae-ah…dengar!” Eunhyuk memohon.
Namja itu, Donghae, tidak mengubah ekspresinya dan hanya menatap
Eunhyuk dalam diam.
“Aku…” Eunhyuk memulai. “Kurasa kau benar.”
Donghae masih tidak menjawab.
“Sungmin-hyung, mungkin aku memang salah mengartikan
perhatiannya padaku.”
Begitu mendengar nama itu, Donghae menghela napas.
“Aku baru menyadarinya saat tiga hari ini kau tidak membalas
pesan maupun teleponku.”
“Jadi kau tidak akan menyadarinya jika aku tetap bersikap
seperti biasa? Tetap menemanimu, mendengarkan keluhanmu tentang Sungmin-hyung?
Kau tidak bisa menyadarinya sendiri kan kalau aku tetap melakukan hal itu?” Ada
nada emosi di setiap kata yang diucapkan Donghae.
Kali ini Eunhyuk yang terdiam.
“Aku memang tidak ada artinya bagimu selain tempat sampah yang
bisa menampung
semua hal tentang Sungmin-hyung mu itu.” Donghae masih menatap
Eunhyuk.
Eunhyuk terkejut mendengarnya, ia sudah membuka mulutnya untuk
menjawab namun Donghae menginterupsinya.
“Kau tahu aku menyukaimu, jelas-jelas kau mengetahuinya, tapi
tidak sedikitpun kau melihat, peduli. Kau selalu mengabaikannya.”
“Dengarkan aku, Hae…”
“Apa? Kau ingin bilang kalau sekarang kau menyukaiku?”
Eunhyuk menggigit bibir bawahnya. Bagaimana mengatakan yang sebenarnya?
“Apa aku terlihat sebegininya menyedihkan di matamu?” Kali ini
Donghae tersenyum pahit.
Dan ekspresi itu jauh lebih menyakiti hati Eunhyuk.
“Aku ingin pergi, menjauhimu, meninggalkanmu,” kata Donghae. “Namun
dirimu, bahkan suaramu, seakan muncul di sekitarku dan menghalangiku. Aku sudah
sakit sedemikian parah.”
Mata Eunhyuk basah lagi.
“Kau yang menyebabkan semua ini, Lee Hyukjae.”
Eunhyuk menunduk lagi. Ia merasa makin bersalah.
“Tapi aku juga tidak punya hak untuk memaksamu menjadi milikku
kan?! Perasaanmu, hatimu, sepenuhnya milikmu.”
Sejenak, beberapa detik di kesunyian.
“Apa aku sudah sangat menyakitimu?” Akhirnya Eunhyuk bersuara.
Donghae tidak menjawab.
“Apa aku sudah sangat keterlaluan?” Eunhyuk mengangkat mukanya,
menatap Donghae. Matanya sudah luar biasa basah.
Ingin sekali Donghae menghapus airmata itu. Tapi ia bertahan di
tempatnya berdiri.
“Dan yang kurasakan sekarang adalah balasan karena membuatmu
tersiksa?” Eunhyuk menghapus kasar airmatanya.
Donghae berusaha memahami kalimat Eunhyuk.
“Kurasa apa yang akan kukatakan sekarang hanya terdengar seperti
lelucon, tapi bisakah kau mendengarnya?” pinta Eunhyuk.
Donghae hanya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
“Kurasa ini karma karena mengacuhkanmu selama ini, dan aku
memang pantas mendapatkannya,” aku Eunhyuk. “Tiga hari ini, saat kau menolak
semua pesan dan teleponku, aku merasa seperti gila. Aku bahkan tidak pernah merasakan
hal ini jika Sungmin-hyung melakukan hal yang sama. Tapi begitu kau……”
Kalimat Eunhyuk terhenti. Ia merasa tenggorokannya tercekat.
Donghae masih menunggu Eunhyuk bicara.
“Aku mungkin konyol. Dan terlihat gampangan,” Eunhyuk tersenyum
perih sambil sekali lagi mencengkeram poninya. “Tapi…aku menyukaimu.”
Donghae bisa merasakan detak jantungnya yang mendadak bekerja
ekstra. Namun otaknya sama sekali tidak memberi perintah untuk mengubah
ekspresinya.
Eunhyuk kembali menggigit bibirnya saat Donghae tidak merespon
kalimatnya barusan. Mati-matian ia menahan agar airmatanya tidak tumpah.
“Lalu apa yang kau inginkan?” tanya Donghae dingin.
Eunhyuk menatap mata Donghae. “Cukup kau mendengarnya sebelum
pergi.”
“Tentu, aku akan tetap pergi.” balas Donghae.
Sejenak kembali hening.
“Bolehkah aku memastikan satu hal sebelum kau pergi?” tanya
Eunhyuk hati-hati.
“Geurae.” jawab Donghae cepat.
“Perasaanmu…masih bolehkah aku memilikinya?”
Sungguh, semua urat syaraf di wajah Donghae hari ini menolak
instruksi dari otak. Bahkan dengan pertanyaan yang tidak pernah Donghae sangka
akan keluar dari mulut Eunhyuk itu tidak mampu membuat wkspresinya berubah.
“Aku juga akan melakukan hal yang sama padamu,” tambah Eunhyuk.
“Perasaanmu adalah milikmu, aku tidak berhak untuk menyuruhmu tetap menyukaiku.”
Masih tetap tak ada balasan dari Donghae. Namja itu hanya
menatap tajam tepat ke bola mata Eunhyuk. Membuat namja yang lebih tua darinya
beberapa bulan itu kembali menunduk, tak sanggup menghadapi tusukan pedang tak
kentara dari mata Donghae yang biasanya selalu meneduhkannya itu.
“Katakan sesuatu, Hae.” pinta
Eunhyuk lirih.
“Mengatakan apa?”
“Jawaban…”
“Kau sudah tahu jawabannya.” potong Donghae.
Eunhyuk terkejut. Ia menengadah dan melihat Donghae dengan tanpa
mengubah ekspresinya sudah berada dalam jarak yang cukup dekat dengannya. Dan
tanpa komando Donghae menekan bibir Eunhyuk. Donghae bahkan tidak memberi
kesempatan untuk Eunhyuk merespon kalimatnya yang terakhir.
Donghae meraih tengkuk Eunhyuk untuk memperdalam aktivitasnya.
Eunhyuk sendiri hanya bisa memejamkan rapat kedua matanya. Memilih menerima
sentuhan Donghae yang perlahan menghangatkan hatinya.
“Apa aku masih bisa memiliki hatimu?” tanya Eunhyuk lagi dengan
muka semerah tomat saat ia berhasil menjauhkan bibir Donghae dari bibirnya.
Namun Donghae hanya menatap dalam mata Eunhyuk sebelum
mengulangi sekali lagi ciumannya. Cukup lama sebelum ia menyerah karena oksigen
mulai meninggalkan paru-parunya.
“Aku bisa ketinggalan pesawatku.” kata Donghae.
Mata Eunhyuk melebar. “Kau tetap pergi?”
“Seperti yang kukatakan tadi, aku akan tetap pergi. Aku tidak
bisa menyia-nyiakan peluang ini. Lagipula Hangeng-hyung sudah berusaha keras
untukku juga.”
“Berapa…lama?” tanya Eunhyuk lirih.
Donghae memperhatikan wajah Eunhyuk yang kembali sendu. Ia
mendadak tersenyum jahil. “Cukup lama untuk membuatmu benar-benar meyadari
bahwa kau benar-benar menyukaiku.”
“Hae…”
Donghae mengecup singkat bibir Eunhyuk. “Aku akan segera kembali
setelah semua beres. Asal kau berjanji satu hal.”
Eunhyuk hanya diam menatap wajah Donghae yang kembali serius.
“Jangan pernah lagi mengoyak perasaanku.”
Eunhyuk tercekat. Ia buru-buru memeluk erat Donghae sekuat yang
ia bisa. “Aku berjanji.”
Donghae tersenyum dan mengelus puncak kepala Eunhyuk sambil
berbisik, “Malam yang waktu juga itu belum selesai lho.”
Eunhyuk terbelalak dan buru-buru melepaskan pelukannya.
“Mu—musun soriya?”
Donghae terkekeh sambil mengelus pipi kiri Eunhyuk. “Gomawo…”
Eunhyuk mengangkat wajahnya yang kembali memerah.
“Gomawo telah mengejarku kemari.” lanjut Donghae sambil
tersenyum. Senyum yang amat sangat Eunhyuk rindukan tiga hari ini.
“Tolong kembalilah dengan selamat.”
Donghae mengangguk. “Pasti.”
“Kka.” Eunhyuk menurunkan tangan Donghae dari pipinya.
“Pesawatnya tidak akan berangkat kalau kamu belum naik.”
“Kau rela melepasku?” tanya Donghae jahil.
“Mana mungkin!” Eunhyuk mengerucutkan bibirnya. “Tapi kalau ini
tentang pekerjaanmu, aku tidak mungkin tidak mendukungnya kan?!”
Donghae tersenyum lagi. “Sekali lagi terimakasih dan tunggu
aku.”
“Ne.” jawab Eunhyuk singkat saat Donghae meraih kopernya.
Donghae menghadiahkan ciuman terakhir di kening Eunhyuk sebelum
menyeret kopernya menjauhi namja itu. Eunhyuk mengikuti Donghae sampai beberapa
langkah sebelum berhenti dan memilih untuk menatap punggung kekasihnya itu
menjauh.
Kekasih?
“Ya! Dia kekasihku!” ujar Eunhyuk mantap pada dirinya.
Donghae membalikkan badan di kejauhan dan melambai pada Eunhyuk
sebelum naik ke pesawat. Eunhyuk balas melambai dan melihat namja itu menaiki
tangga menuju pintu masuk pesawat sampai
sosoknya menghilang.
“Kembalilah segera, Lee Donghae.”
===END===
___________________________________________________________________________
Hoaaaaaaaaaaaaaaaa…
Akhirnya kelar juga ini cerita. Kamsia kamsia buat semua yang
udah nagih-nagih sehingga saya tercambuk untuk ngetik meski males ampun-ampunan
*digampar*.
Berhubung saya ga begitu suka yang bener-bener hepi ending, jadi
ya saya bikin kaya’ gini aja akhir ceritanyaa. Toh si Eunhyuk akhirnya bisa
jadian sama Donghae-nya kan?! Muhohohohohoh…
Special thank’s buat Mia yang udah mau digangguin lewat bbm cuma
buat nanyain seluk-beluk bandara *nasib author yang ga pernah naek pesawat*.
Well, makasih untuk yang udah nyempetin baca atau sekedar
mampir. Sekian dan terimakasih… *lambai-lambai sama seluruh cast “When You Need
to Forget”* :)