Note : Typos, bahasa kacau, membingungkan, aneh,
geje, dan lain sebagainya.
Disclaimer : When You Need To Forget #2 (c) Ken
Cast : Lee Donghae – Lee Hyukjae
Kim Yesung – Kim Ryeong
Choi Siwon
Genre : Angst/Fluff
Rating : 17+ (cari aman)
Rules (harus
dibaca) :
1. Tag random, yang ga suka langsung REMOVE dan BANTING SETIR; 2. DILARANG
COPAS dan BASH; 3. WAJIB MENINGGALKAN
JEJAK dalam bentuk apapun!!
Happy read :))
_________________________________________________________________________
“Tiketnya sudah siap, Hyung.” kata Ryeowook saat Donghae
meneleponnya malam itu.
“Ne, gomawo..” balas Donghae sambil memasukkan beberapa potong
baju ke koper besar.
“Euung…Hyung..”
“Aku akan tetap pergi,” Donghae tersenyum meski Ryeowook tidak
melihatnya. “Sekuat apapun kau dan Yesung-hyung akan menahanku nanti.”
“Apakah yang seperti ini benar?” Suara Ryeowook terdengar
seperti bisikan di telinga Donghae.
“Entahlah…” Donghae duduk di tepi ranjang. “Tapi yang jelas, aku
sudah lelah.”
.:oOo:.
Eunhyuk berdecak resah untuk kesekian kalinya sambil mengulangi
panggilan teleponnya pada Donghae.
“Lee Donghae, jebal…angkat teleponnya!” keluhnya.
Dan untuk sekian kali mesin penerima pesan yang menjawabnya.
“Yak!! Lee Donghae!” Eunhyuk meneriaki handphone-nya. “Wae
geurae?”
Sementara di lain tempat, Donghae menatap diam handphone-nya
yang berkali-kali bergetar. Memandangi nama Eunhyuk yang muncul di layar lalu
tersenyum miris.
“Dengan begini, kau akan membenciku dan lebih mudah melupakanku
nanti, Hyukkie.”
.:oOo:.
Eunhyuk meniupi telapak tangannya yang hampir beku gara-gara
dinginnya musim salju. Matahari sudah hampir tenggelam saat ia berjalan di trotoar sambil sesekali menoleh
ke belakang kalau-kalau ada taksi yang bisa diberhentikan. Namun sedari tadi,
tidak ada satupun taksi yang mau berhenti untuknya. Parahnya, ini bukan jalur
dimana bis bisa lewat. Praktis Eunhyuk harus mengandalkan kakinya untuk
berjalan.
Setelah hampir tiga hari Donghae menolak untuk menjawab
panggilannya atau membalas sms, Eunhyuk memutuskan untuk mendatangi apartemen
namja itu. Ia merasa harus meluruskan segalanya.
Termasuk mungkin perasaannya. Tiga hari ini, dia hampir dibuat
gila karena kelakuan Donghae itu. Padahal sebelumnya, ia tidak pernah merasakan
hal yang seperti ini jika tengah bertengkar dengan Sungmin-hyung nya.
“Sungmin-hyung mu?” Eunhyuk mengatai dirinya sendiri. “Dia bukan
milikmu lagi, Lee Hyukjae.”
Eunhyuk kembali teringat malam itu saat ia meminta bertemu
dengan Donghae di guyuran salju yang lebat. Malam itu Donghae berkata kalau
Eunhyuk salah mengartikan perasaan Sungmin padanya.
Dan setelah memikirkannya, Eunhyuk menyadari bahwa mungkin
kalimat Donghae benar. Sungmin memang menyayangi dan mencintainya, tapi itu
mungkin karena Sungmin adalah kakaknya. Dan di belahan dunia manapun, tidak ada
kakak yang tidak menyanyangi adiknya.
Eunhyuk tersenyum kecil. Bagaimana selama ini dia bisa
mengabaikan Donghae untuk perasaan yang konyol seperti ini?
Donghae…
Kembali Eunhyuk teringat namja itu. Apa alasan Donghae tidak mau
berhubungan lagi dengannya adalah karena malam itu?
Eunhyuk kembali menyentuh leher kirinya dimana Donghae pernah
meninggalkan ‘tanda’nya di sana. Ia sedikit tersipu jika mengingatnya, tapi itu
sama sekali tidak menghapus ekspresi sedih yang sejak tadi tercermin di
wajahnya.
Dan lagi, perasaan macam apa ini? Perasaan ini berbeda dengan
apa yang dialami sebelumnya. Kenapa rasanya ada yang hilang begini?
Eunhyuk menyentuh jantungnya yang berdetak. Rasa nyerinya pun
berbeda dari sakit yang disebabkan keputusan Sungmin untuk menikahi Cho
Kyuhyun. Sebenarnya ini apa?
.
.
.
.
Yesung menahan koper Donghae saat namja itu berniat
mengambilnya. “Jangan seperti anak kecil, Donghae-ya.”
Donghae mendongak menatap wajah namja yang sudah dianggapnya
kakak itu. “Hyung yang bilang kan kalau aku selalu seperti anak kecil. Harusnya
Hyung tahu kalau aku akan selalu seperti ini.”
“Ini tidak lucu.”
“Aku juga sedang tidak melucu.”
“Ckk,” Yesung berdecak sambil menatap ke arah lain. “Kau… Apa
ini tentang Lee Hyukjae?”
Donghae tersenyum dan mengambil koper dari tangan Yesung. “Kalau
semua ini tentang Kim Ryeowook, sudah pasti aku kau bunuh, Hyung.”
Yesung mencengkeram kerah baju Donghae dengan tangan kirinya.
“Kau tahu aku sedang tidak bercanda.”
Donghae menutup mata. “Aku tahu, Hyung.”
“Kubilang berhenti bersikap kekanakan dan hadapi masalahmu!”
“Sudah berakhir, Hyung.”
Yesung tertegun.
“Sekuat apapun aku menunjukkan padanya tentang perasaanku, dia
tidak akan membuka hatinya untukku.”
Yesung melepaskan kerah baju Donghae. “Tapi itu bukan berarti
kau bisa melarikan diri begini.”
“Maumu?” Ekspresi Donghae mulai menunjukkan emosi. “Aku harus
tetap di sini, mengorbankan perasaanku setiap kali Eunhyuk menyebut nama
Sungmin, mengatakan berulang kali bahwa Eunhyuk menyukainya? Itu maumu, Hyung?”
Yesung terdiam.
“Kalau kalian ingin aku mati, akan kulakukan!”
Yesung menghela napas.
“Kau tidak tahu rasanya, Hyung!” Donghae mencengkeram pegangan
kopernya erat-erat. Berusaha mengendalikan emosinya.
“Lalu?” Yesung memutar otak untuk memilih kata yang bagus agar
tidak memperkeruh suasana. “Kau sendiri yang bilang kalau Sungmin-ssi akan
menikah dengan Kyuhyun-ssi.”
Donghae tidak menjawab.
“Sekarang kau mau pergi. Lalu bagaimana dengan Eunhyuk?” lanjut
Yesung.
Donghae sudah membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Yesung.
Namun kemudian ia seperti mengingat sesuatu dan akhirnya menunduk, menatap
lantai porselen kamarnya.
“Kau akan meninggalkannya juga?”
“Dia punya keluarga.” kata Donghae.
“Tapi tidak bisa setiap saat Eunhyuk bisa pulang.”
Donghae terdiam.
“Bagaimana jika dia membutuhkan sesuatu…anni…seseorang?
Seseorang yang bisa berada di sampingnya saat suasana hatinya tidak menentu.”
“Kenapa harus aku?” Donghae masih menatap lantai. “Dia bisa saja
menemukan orang lain dan jatuh cinta lagi. Orang yang seperti katamu, selalu
berada di sampingnya saat ia butuh.”
“Kalau menurutmu jatuh cinta bisa segampang itu, kenapa hampir
20 tahun ini kau memutuskan untuk hanya menyukai seorang Lee Hyukjae. Kau
mungkin bisa saja menyukai orang lain saat masih sekolah atau kuliah. Tapi kau
tidak melakukannya kan?!”
“Aku…”
“Bagaimana jika sebenarnya Eunhyuk memiliki perasaan yang sama
denganmu, hanya saja belum bisa menyadarinya?”
Donghae tersenyum miris. “Tidak mungkin.”
“Tidak mungkin? Lalu telepon dari siapa yang 3 hari ini tidak
mau kau terima?”
.
.
.
.
Eunhyuk merentangkan sebelah tangannya untuk menghentikan taksi
untuk kesekian kali. Namun memang sepertinya semua taksi tidak mau berbaik hati
padanya. Lagi-lagi taksi yang ia berhentikan sudah berpenumpang dan melaju
meninggalkannya begitu saja.
“Aisshhh… Apa semua mobil di Korea sedang rusak?” Eunhyuk
menghentakkan kakinya sebal. “Kenapa semua orang naik taksi sih?”
Ia menarik handphone dari saku celananya. Menatap layar
ponselnya yang sepi tanpa pemberitahuan.
Ia menekan tombol yang menghubungkannya ke kontak handphone.
Mencari nama Lee Donghae. Namun begitu nama itu ditemukan, ia hanya menghela
napas.
“Mungkin dia tidak akan menerimanya lagi.”
Eunhyuk menatap langit yang makin gelap.
.
.
.
.
“Aku tetap akan pergi, Hyung.” Kata Donghae mantap. “Lagipula,
Hangeng-hyung bilang pekerjaan di sana sangat menjanjikan.”
“Jangan bawa-bawa Hangeng-hyung sebagai tameng alasanmu yang
sebenarnya untuk melarikan diri dari Lee Hyukjae!”
“Berhenti menyebut namanya!”
“Kenapa?” Yesung menantang. “Jangan membohongi perasaanmu, Donghae-ya?!”
.
.
.
.
Eunhyuk menatap ponselnya lagi yang masih memampangkan nama
Donghae. Jarinya bergetar saat hendak menekan layar touchscreen-nya. Eunhyuk
memejamkan matanya erat.
.
.
.
.
“Kau akan menyesal pernah melakukan ini.” kata Yesung.
“Tidak akan ada yang perlu kusesali. Semuanya akan baik-baik
saja, hanya butuh waktu.”
Yesung merasa emosinya sudah naik ke kepala. “Waktu? Berapa lama
waktu yang kau bilang barusan?”
Donghae tidak bisa menjawab lagi.
“Bagaimana jika waktu yang kau bilang itu lebih dari seabad?
Tegakah kau menyakiti dirimu sendiri seperti itu?”
DRRRT… DRRRT…
Yesung menatap ponsel yang bergetar di tangan kanan Donghae.
“Kurasa kau akan jadi pengecut dengan tidak mengangkatnya lagi.”
cemooh Yesung.
Donghae menyejajarkan layar handphone-nya dengan matanya, dan
benar! Nama Eunhyuk tertulis di layar.
“Kalau memang keputusanmu seperti itu, silakan saja melarikan
diri. Toh, aku di sini hanya membantumu membuat pertimbangan. Kalau semua yang kukatakan
tidak bisa membuatmu bergeming, apa lagi yang bisa kulakukan?” Yesung
membalikkan badan dan keluar dari kamar Donghae. “Aku tunggu di luar. Pesawatmu
jam setengah delapan kan?!”
Yesung menutup pintu, meninggalkan Donghae yang masih menatap
layar handphone-nya. Haruskah ia mengangkatnya? Atau seperti kata Yesung –yang
sialnya harus ia akui—, ia hanya akan menjadi pengecut dengan tetap menghindari
Eunhyuk seperti ini.
.
.
.
.
Eunhyuk tersenyum miris sambil memutus panggilannya pada
Donghae. “Sudah jelas kan?! Dia tidak ingin mengenalmu lagi, Lee Hyukjae?!”
Sungguh, bahkan dengan Sungmin pun dia tidak pernah merasa
semenyiksa ini. Namun ia juga tidak bisa seratus persen menyalahkan Donghae.
Wajar jika namja itu menghindarinya. Bahkan mungkin seharusnya Donghae sudah
melakukannya dari dulu.
“Lee…Hyukjae-ssi?”
Eunhyuk mendengar seseorang menyebut namanya. Buru-buru ia
menghapus airmata yang menggenang di matanya, kemudian berbalik.
Seorang laki-laki duduk di dalam sebuah mobil Lamborghini mewah
yang berhenti di tepi jalan. Eunhyuk merasa pernah mengenal orang itu. Namun
berhubung ingatannya yang terbatas, jadilah ia hanya mengernyit karena sama
sekali tidak mengingat apapun.
“Ternyata benar.” Laki-laki muda itu turun dari dalam mobilnya.
“Sudah lupa aku siapa?”
Eunhyuk membungkuk sedikit saat namja itu sudah di hadapannya.
“Jeongmal mianhaeyo. Ingatanku buruk.”
Namja itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya. “Kalau begitu
kita berkenalan sekali lagi.”
Eunhyuk menerima jabat tangan itu.
“Choi Siwon. Rekan OSIS-mu di SMU.”
Mata kecil Eunhyuk melebar. “Ahh, ne!! Aku ingat!”
Namja bernama Choi Siwon itu tersenyum. “Kau banyak berubah.”
Eunhyuk hanya tersenyum.
“Apa yang kau lakukan di luar jam segini?”
“Aku berencana ke apartemen Donghae. Kau mengenalnya kan?!”
“Ya.” Siwon sedikit mengingat. “Dia orang yang ngotot masuk tim
basket SMA.”
Eunhyuk tersenyum mengingat kejadian saat sekolah dulu. “Dan dia
tidak pernah diterima sekeras apapun dia berusaha karena tingginya.”
Siwon tertawa. “Tapi kuakui permainannya bagus.”
Eunhyuk mengangguk lalu menunduk.
“Kau tidak bawa kendaraan? Kenapa tidak naik taksi?” tanya Siwon
lagi.
“Itu dia,” Eunhyuk memasukkan handphone ke saku celananya lagi.
“Tidak ada satupun taksi kosong dari tadi. Terpaksa aku jalan kaki.”
Siwon memutar bola matanya, terlihat berpikir. “Kalau searah,
bagaimana kalau kau naik mobilku saja?!”
“Eh? Bolehkah?”
.
.
.
.
Tak ada suara dalam mobil yang dikemudikan Yesung untuk
mengantar Donghae ke bandara. Baik Yesung atau Donghae sibuk dengan pikiran
masing-masing. Mungkin bagi Yesung akan lebih baik dia diam dan tidak berkata
apapun yang akan memancing emosi Donghae lagi.
Memang Yesung sama sekali tidak menyukai keputusan Dongahe
meninggalkan Korea hanya karena perasaannya yang tidak berbalas pada Eunhyuk.
Tapi ia juga sadar kalau selama ini Donghae banyak berkorban tanpa hasil.
Yesung melirik Donghae yang menunduk menatap layar handphone-nya
menggelap.
“Menunggu dia meneleponmu?”
Donghae sedikit terkejut dan menatap Yesung yang sudah kembali
konsentrasi ke jalan raya.
“Kau sudah mengacuhkannya. Kurasa siapapun yang mendapat
perlakuan seperti itu akan menyerah pada akhirnya dan memilih melupakan orang
yang mengacuhkannya itu.” sambung Yesung.
Donghae menatap menatap layar handphone-nya lagi.
“Kurasa kau benar,” Yesung kembali memancing Donghae. “Tidak
akan sulit bagi Lee Hyukjae untuk jatuh cinta lagi. Dia juga tidak mungkin
selamanya memikirkanmu.”
Donghae menoleh ke jendela di sebelah kanannya. “Ya, itu tidak
sulit.”
.
.
.
.
“Belok kiri di pertigaan di depan.” kata Eunhyuk memberi
instruksi saat mobil Siwon mendekati lampu merah.
Siwon mengikuti arah yang dimaksud Eunhyuk. “Sepertinya kau dan
Donghae-ssi masih tetap berhubungan baik selepas masa SMA.”
Eunhyuk menoleh ke arah Siwon. Agak terkejut dengan kalimat
namja itu barusan.
“Sebenarnya kami sudah berteman sejak kecil,” jawab Eunhyuk.
“Kami selalu sekolah di tempat yang sama. Entah kebetulan atau apa.”
Siwon mengangguk-angguk mendengarkan cerita Eunhyuk sambil
sesekali melirik spion dan berkonsentrasi ke jalan.
Eunhyuk menunduk menatap layar handphone-nya.
“Kenapa tidak meneleponnya untuk menjemput?” Lagi-lagi
pertanyaan inosen Siwon mengejutkan Eunhyuk. Kali ini ditambah rona merah yang
mendadak muncul di wajahnya. Untung Siwon tidak sedang menatapnya, jadi Eunhyuk
juga tidak perlu repot untuk menutupinya.
“Sebenarnya kami sedang ada masalah.” kata Eunhyuk lirih.
Siwon tidak merespon dan memilih untuk memperhatikan Eunhyuk
dari ekor matanya.
“Karena itu aku ingin bertemu dengan Donghae,” lanjut Eunhyuk.
“Dia tidak menjawab telepon atau pesanku. Jadi agak susah situasinya sekarang.”
Tak ada suara untuk beberapa saat. Siwon sepertinya sedikit
merasa bersalah karena bertanya yang tidak-tidak. Sedang Eunhyuk sendiri sibuk
menatap handphone-nya lagi.
“Kita akan segera sampai.” ujar Siwon singkat.
Eunhyuk tersenyum. “Tidak perlu buru-buru.”
.
.
.
.
Donghae dan Yesung mendongak menatap list keberangkatan.
Terlihat di sana pesawat yang akan berangkat ke Cina akan diundur setengah jam.
Juga barusan ada pemberitahuan bahwa pihak bandara menerima laporan akan turun
salju lebat.
“Kau ingin aku tetap di sini atau bagaimana?” Yesung menoleh
pada Donghae yang masih mengamati papan list keberangkatan.
Donghae berpikir sejenak sebelum menjawab, “Hyung pulang saja
sebelum salju turun.”
Yesung mengamati Donghae sejenak. “Yakin?”
Donghae mengangguk. “Lagipula Ryeowook juga sendirian di
apartemenku. Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang yang datang ke apartemenku
dengan maksud jahat dan Ryeowook dengan sifatnya yang polos itu mengijinkannya
masuk? Bisa saja dia akan terjadi sesuatu yang buruk padanya.”
Agaknya mimik muka Yesung sedikit berubah khawatir karena
pernyataan Donghae barusan. Padahal itu akal-akalan Donghae saja agar hyung-nya
itu segera pulang dan dia bisa bebas sendirian dengan perasaan dan pikirannya.
“Dia juga tidak sepolos itu.” Yesung membela kekasihnya yang
jauh di sana.
Donghae melipat tangannya. “Kalau aku jadi kau, Hyung. Aku akan
pulang dari pada membuang tenaga menunggu pesawat dengan seseorang yang
mendengarkan nasehatmu saja tidak.”
Yesung menggigit bibir bawahnya, tampak dilema.
“Yahh, aku hanya memberikan saran.” kata Donghae sambil
pura-pura memeriksa kelengkapan paspornya.
“Kau yakin tidak butuh apapun dariku?” Sepertinya Yesung masuk
perangkap Donghae.
Donghae hanya tersenyum dan menggeleng. “Aku akan mengirim sms
sebelum masuk pesawat nanti juga setelah aku tiba di Cina.”
Yesung merapatkan jaket tebalnya. “Baiklah, aku pulang dulu.”
“Hati-hati.” pesan Donghae sambil menepuk lengan Yesung dengan
paspornya.
“Telepon aku jika sudah sampai di Cina!” seru Yesung sambil
berjalan mundur ke arah pintu keluar.
“Arasseo.” seru Donghae balik.
Donghae menatap punggung Yesung yang setengah berlari. Namja itu
berbelok setelah pintu keluar otomatis menutup dan seketika menghilang dari
pandangan Donghae.
Donghae menghela napas. Lewat kaca-kaca tinggi bandara, Donghae
menatap langit kelam yang mulai menurunkan butiran salju satu demi satu.
Pikirannya melayang, dan kita tahu kemana arahnya.
.
.
.
.
Eunhyuk menutup pintu mobil Siwon saat ia sudah sampai di tempat
yang ia ingin tuju, apartemen Donghae.
“Terimakasih.” katanya saat Siwon membuka kaca di pintu mobil.
Siwon mengangguk sambil tersenyum. “Cepat selesaikan masalahmu
dengan Donghae-ssi.”
Giliran Eunhyuk yang tersenyum.
“Aku memang tidak terlalu mengenalnya, tapi aku yakin
Donghae-ssi bukan orang yang akan memperpanjang suatu masalah.” tambah Siwon.
“Semoga.” Nada Eunhyuk mengambang.
Siwon sekali lagi tersenyum. “Geurae, aku duluan.”
“Ne, sekali lagi terima kasih banyak.” Eunhyuk sedikit
membungkuk.
“Yak, santai saja.” Siwon memasukkan gigi mesin mobilnya.
“Hati-hati.”
Siwon hanya membalas dengan telapak tangan membentuk chicken
claw favoritnya lalu mulai menjalankan mobilnya menjauh.
Eunhyuk menghela napas sambil mengawasi mobil Siwon yang
perlahan meninggalkannya. Ia mendongak saat menyadari satu demi satu salju
mulai turun.
Ia tergugah dari lamunannya, lalu membalikkan badan dan menapaki
satu per satu tangga depan bangunan tinggi menjulang dimana salah satu
ruangannya adalah milik Donghae.
Dua namja yang bekerja di sana membungkuk saat Eunhyuk memasuki
bangunan. Dari sana Eunhyuk memantapkan langkah ke arah lift. Ia menunggu lift turun ke lantai satu
dengan sabar sambil memperhatikan penunjuk angka yang menunjukkan bahwa lift
masih sampai di lantai belasan.
“Eunhyuk-ah?”
Sekali lagi terdengar suara dari belakang telinga Eunhyuk yang
mebuatnya menoleh. Seorang namja dengan jaket tebal warna coklat hampir
menyentuh betis datang mendatangnya. Eunhyuk familiar sekali dengan namja ini.
“Yesung-hyung?”
“Kau…” Yesung, namja yang memanggil Eunhyuk tadi, tidak bisa
meneruskan kalimatnya.
“Aku ingin bertemu Donghae.”
Mata sipit Yesung melebar.
“Aku telepon dan sms dia beberapa hari ini tapi tidak direspon.
Jadi aku memutuskan ke sini saja.” Eunhyuk tersenyum.
Yesung benar-benar tidak tahu bagaimana harus menyampaikan apa
yang terjadi saat ini.
“Apa dia menceritakan sesuatu padamu, Hyung?” Eunhyuk
menyelidik. “Apa dia marah padaku?”
Yesung menatap Eunhyuk serius.
“Ada apa, Hyung? Tidak terjadi sesuatu pada Donghae kan?!”
Melihat ekspresi yang tergambar di wajah Yesung, Eunhyuk jadi khawatir.
“Eunhyuk-ah, dengarkan aku baik-baik,” Yesung memulai. “Donghae
akan ke Cina. Dia naik pesawat yang berangkat malam ini. Aku tidak tahu
tepatnya jam berapa, tapi kalau dari pemberitahuan terakhir dari pihak bandara
yang kudengar, harusnya sekitar setengah jagiam .”
Eunhyuk terhenyak.
“Kurasa tidak ada cukup
waktu untuk ke bandara. Tapi…Eunhyuk-ah!!” Yesung berseru saat dengan cepat
Eunhyuk berlari melewatinya menuju pintu keluar. Ia hendak mengikuti saat
ponsel di sakunya bergetar. Yesung mengambilnya dan melihat layar ponselnya
dimana tertera nama Ryeowook.
Eunhyuk kembali turun ke jalan. Dengan panik ia berlari
menyusuri trotoar. Donghae-ah!!
.
.
.
.
Donghae menoleh saat merasa ada yang memanggilnya dan sangat
mirip dengan suara Eunhyuk. Namun tak ada sosok yang ia cari ke arah manapun
Donghae menoleh.
Ia tersenyum. “Kau menyihirku sampai separah ini, Lee Hyukjae.”
“Pesawat dengan nomor penerbangan XXXXX-0598 dengan tujuan keberangkatan
ke Cina akan lepas landas pada pukul 20.58. Harap kepada calon penumpang untuk
mempersiapkan diri dan masuk lewat gate A.”
(A/N : Saya ga tau itu cara penyampaian informasi di bandara
kaya’ gimana, jadi saya nulisnya asal aja. Hehe..)
Donghae mendengarkan pengumuman dengan seksama sebelum mengambil
handphone-nya untuk mengirim pesan pada Yesung. Namun baru akan digunakan
mendadak layar handphone-nya menggelap.
“Yak!” kata Donghae pada handphone-nya. “Bagaimana kau bisa
habis baterai mendadak begini?”
Sambil berdecak Donghae mengembalikan handphone ke saku
mantelnya lalu mulai menarik kopernya.
.
.
.
.
Eunhyuk berhenti di pinggir jalan untuk mengatur napas. Ia
kehabisan tenaga untuk berlari sedangkan jarak bandara masih jauh. Ia menoleh
ke belakang. Setelah tadi tidak ada taksi yang mau berhenti untuknya, kali ini
justru sama sekali tidak ada taksi yang lewat.
Masih dengan terengah dan mata yang kabur oleh airmata yang siap
mengalir, Eunhyuk berseru, “Tuhan, setelah aku tahu siapa yang BENAR-BENAR
kusukai, tidak bisakah aku menunjukkan perasaanku padanya?”
“Tidak akan bisa jika kau hanya berteriak seperti itu tanpa usaha.”
Eunhyuk terkejut mendengarnya dan menoleh untuk melihat Yesung
dan Ryeowook ada di dalam mobil yang merapat ke tepi jalan.
“Eunhyuk-hyung, ppali!!” seru Ryeoowok membuka pintu.
Eunhyuk tersenyum lega dan bergegas masuk ke dalam mobil Yesung.
.
.
.
.
Donghae mengantri masuk ke gate tempat dia akan naik pesawat
sambil memperhatikan handphone-nya yang mati mendadak tadi. Ia yakin sudah
men-charge penuh sebelum Yesung datang menjemputnya ke apartemen.
“Apa iya baterainya rusak?” Donghae membolak-balik handphone di
tangannya. “Aku beli belum ada setengah tahun.”
.
.
.
.
“Lebih cepat, Hyung!” perintah Ryeowook pada Yesung yang baru
memasukkan gigi mobil.
“Yakk!” Yesung membelokkan mobil di tikungan. “Aku juga tidak
mau makan resiko mencelakakan keselamatan kita dengan menambah speed hingga
maksimal. Ini sudah di luar batas aku biasanya menyetir.”
“Tapi kalau tidak cepat, pesawat Donghae-hyungie bisa lepas
landas duluan.”
Yesung berdecak lalu menambah kecepatan mobilnya.
.
.
.
.
Empat giliran Donghae sebelum petugas bandara mengecek paspor
Donghae.
Entah kenapa dia jadi sering menoleh ke belakang. Berharap
Eunhyuk datang? Yahh, mungkin beberapa persen dari bagian hatinya menginginkan
namja itu mendadak datang dan melarangnya pergi.
Donghae tersenyum. Akan sangat menggelikan kalau hal itu
terjadi. Bahkan Donghae tidak memberitahunya kalau ia akan terbang ke Cina,
rencana ke Cina saja Eunhyuk tidak tahu.
Tiga giliran sebelum petugas bandara mengecek paspor Donghae.
Donghae mencengkeram erat handphone yang ada di tangan kirinya.
Kenapa rasa menyesal mendadak muncul di hatinya? Apa yang dilakukannya pada
Eunhyuk malam itu, sikapnya yang mengacuhkan telepon maupun sms darinya, pergi
tanpa pamit seperti ini.
Namun harus bagaimana lagi? Kau tahu kan bagaimana menyiksanya
bertahan di samping seseorang yang kau sukai tanpa bisa memilikinya? Kau tahu
kan bagaimana sakitnya jika orang yang kau suka mengatakan ia menyukai orang
lain padamu padahal ia jelas-jelas tahu bahwa kau menyukainya? Kau tahu kan?!
Lantas dengan sakit yang bertumpuk itu, masih bisakah Donghae
bertahan tentang Eunhyuk?
Dua giliran lagi sebelum petugas bandara memeriksa paspor
Donghae.
.
.
.
.
Satu belokan terakhir dan bandara akan segera terlihat.
“Ryeowook-ah, coba telepon Donghae!” kata Yesung.
“Ne.” Ryeowook mengeluarkan ponselnya dan mengikuti instruksi
Yesung.
Yesung mulai memperlambat laju mobilnya saat memasuki parking
lot di depan bandara. Makin pelan saat ia menemukan sela untuk mobilnya di
antara dua pick-up.
“Handphone Donghae-hyung tidak aktif.” lapor Ryeowook sambil
mengulangi panggilannya.
“Aissshh…” keluh Yesung sambil masih berusaha memarkirkan
mobilnya.
“Aku turun di sini saja, Hyung!” Eunhyuk melepas safety belt-nya
dan bergegas membuka pintu.
“Yak, yak!! Eunhyuk-ah!!” panggil Yesung saat Eunhyuk sudah
berlari keluar menjauhi mobilnya.
.
.
.
.
“Lee Donghae-ssi?” Seorang petugas membuka paspor Donghae dan
memeriksa kebenaran isinya.
“Nde..” jawab Donghae singkat.
Petugas itu membalik beberapa lembar pasporDonghae sebelum
akhirnya mengangguk dan mengembalikan paspor itu dengan tersenyum. “Semoga
perjalanan Anda menyenangkan.”
Petugas itu sedikit membungkuk sebelum member jalan pada Donghae
untuk lewat. Donghae membalasnya kemudian menyeret kopernya.
.
.
.
.
Eunhyuk memasuki bandara dengan membuka pintu kaca otomatis
dengan tidak sabar. Ia berhenti sebentar sambil menengok ke arah kiri dan
kanan. Ia berlari saat menemukan dimana list penerbangan.
Mata kecilnya melebar saat tahu pesawat ke Cina akan berangkat
kurang dari sepuluh menit lagi. Ia berlari lagi ke arah bagian informasi.
Seorang petugas wanita berdiri dari duduknya saat Eunhyuk mendatanginya.
“Ada yang bisa kami bantu?” sapanya sambil tersenyum.
“Pesawat ke Cina,” Eunhyuk mengatur napas. “Lewat gate mana?”
Petugas itu mengecek di komputer. “Pesawat ke Cina bisa lewat
gate A.”
“Gamsahamnida.” Tak perlu menunggu lama, Eunhyuk kembali berlari
menuju gate yang barusan ditunjukkan oleh petugas bandara.
Ia sempat kebingungan menemukan gate yang dituju sampai akhirnya
ia mendengar seseorang bertanya pada petugas keamanan yang sedang berpatroli.
“Permisi, gate A ada di sebelah mana?” tanya orang itu dan
Eunhyuk memperhatikan dengan seksama.
“Dari sini Anda lurus saja. Gate 4 ada di paling ujung.” Petugas
keamanan itu menunjukkan dengan gerakan tangannya.
Begitu mengetahui posisi gate A, Eunhyuk bergegas menuju ke sana.
Jebal…tunggu sebentar!
Barisan calon penumpang menipis saat Eunhyuk sampai di depan
gate A. Ia meneliti satu per satu penumpang untuk menemukan Donghae yang barang
kali masih ada di barisan. Namun Eunhyuk tak menemukannya. Jadi ia berjingkat
di belakang antrian untuk mencari Donghae di dalam lorong gate yang mungkin
saja masih belum jauh.
Nihil. Bahkan punggung Donghae tidak bisa ia temukan.
Begitu barisan calon penumpang habis, Eunhyuk mendekati petugas
di pintu gate. “Bolehkah saya masuk sebentar?”
“Apakah Anda memiliki paspor untuk penerbangan ini?” tanya salah
satu petugas.
“A—anni. Saya hanya ingin menemui seseorang, sebentar.”
“Maaf, Tuan. Tapi hanya penumpang yang boleh masuk ke
dalam.”kata salah satu petugas.
“Tolonglah, sebentar saja. Lima menit, bukan…tiga menit saja.”
Eunhyuk mengiba. Ia berusaha menerjang, namun dua petugas laki-laki itu
memiliki badan yang lebih besar dari badannya sehingga langkahnya terhenti.
“Maaf, tapi ini sudah kebijakan dari perusahaan kami.”
“Eunhyuk-hyung!!” Ryeowook datang dengan berlari disusul Yesung
di belakangnya.
“Donghae-ah eopseo!” kata Eunhyuk panik pada mereka berdua.
Ryeowook berpaling dari Eunhyuk ke arah dua petugas di depannya.
“Boleh saya minta waktu sebentar?”
Ryeowook diiringi salah seorang petugas menuju sisi lain. Yesung
buru-buru mendatangi Eunhyuk untk menenangkan namja itu. Sementara waktu makin
merapat ke menit 58 lepas dari jam 8 malam.
Tidak sampai lima menit kemudian, Ryeowook kembali ke arah
mereka.
Petugas yang berbicara dengan Ryeowook tadi menghela napas
sejenak sebelum menatap Eunhyuk mantap. “Kami hanya bisa memberi waktu sepuluh
menit. Dan Anda tetap tidak diijinkan masuk ke dalam pesawat.”
Mata Eunhyuk melebar tak percaya. Buru-buru ia mengangguk.
“Kka!” Ryeowook menepuk pundak Eunhyuk.
Sekali lagi Eunhyuk mengangguk sebelum berlari ke arah lorong, menyusul Donghae.
“Aku bahkan lupa kau anak kepala bagian penerbangan.” kata Yesung
tanpa melepaskan pandangan dari Eunhyuk yang makin jauh berlari.
“Kau memang tidak peka, Hyung.” kata Ryeowook sambil tersenyum.
.
.
.
.
Nafas berat Eunhyuk terdengar di lorong bergema itu. Dan sampai
sini ia masih belum menemukan Donghae. Di depan ada belokan terakhir. Kalau
sampai sana Eunhyuk masih belom menemukan Donghae, maka tidak ada lagi yang
bisa ia lakukan.
Eunhyuk hampir sampai di ujung lorong dan masih belum menemukan
Donghae. Laju kakinya makin melambat. Semakin lambat sampai akhirnya ia
berhenti saat matanya melihat landasan pesawat tak jauh darinya.
“Donghae-ah…” panggilnya
lirih.
Eunhyuk berjongkok. Dibiarkan matanya basah hingga membentuk
butiran-butiran airmata yang siap jatuh. Ia menutup wajahnya dengan sebelah
tangannya.
Pupus sudah. Bahkan untuk sekedar mengucapkan kata maaf saja
Eunhyuk tak bisa. Degupan nyeri di dadanya datang lagi. Namja itu merenggut
erat baju bagian dadanya.
“Donghae-ah…” katanya lagi sambil menggertakkan gigi.
Eunhyuk mencengkeram poninya. Airmatanya turun deras sekalipun
ia tidak terisak. Hati kecilnya mengutuk diri sendiri atas tingkah bodohnya
selama ini dan membiarkan Donghae pergi begitu saja.
Tapi bagaimana bisa Donghae pergi tanpa mengatakan apapun
padanya? Apa sakit yang diderita Donghae sudah sedemikian parahnya hingga
mengenal Eunhyuk saja ia sudah tidak mau lagi?
“Pulanglah.”
Demi nama Ddangkoma, Eunhyuk yakin itu suara yang amat sangat
sering ia dengar. Suara yang tiga hari ini absen memenuhi rongga di telinganya.
Eunhyuk mengangkat kepalanya dan menemukan namja yang ia cari
berdiri di depannya. Menunduk menatap wajahnya yang Eunhyuk sendiri yakin pasti
sekarang sudah basah oleh air mata.
“Kau tidak seharusnya di sini.” kata namja itu dengan raut muka
datar.
Eunhyuk berdiri dari jongkoknya. “Ada yang harus kukatakan.”
“Kalau itu hanya untuk menjelaskan tentang perasaanmu pada
Sungmin-hyung dan menolakku, lupakan. Aku tidak mau mendengarnya.”
“Tidak! Donghae-ah…dengar!” Eunhyuk memohon.
Namja itu, Donghae, tidak mengubah ekspresinya dan hanya menatap
Eunhyuk dalam diam.
“Aku…” Eunhyuk memulai. “Kurasa kau benar.”
Donghae masih tidak menjawab.
“Sungmin-hyung, mungkin aku memang salah mengartikan
perhatiannya padaku.”
Begitu mendengar nama itu, Donghae menghela napas.
“Aku baru menyadarinya saat tiga hari ini kau tidak membalas
pesan maupun teleponku.”
“Jadi kau tidak akan menyadarinya jika aku tetap bersikap
seperti biasa? Tetap menemanimu, mendengarkan keluhanmu tentang Sungmin-hyung?
Kau tidak bisa menyadarinya sendiri kan kalau aku tetap melakukan hal itu?” Ada
nada emosi di setiap kata yang diucapkan Donghae.
Kali ini Eunhyuk yang terdiam.
“Aku memang tidak ada artinya bagimu selain tempat sampah yang
bisa menampung
semua hal tentang Sungmin-hyung mu itu.” Donghae masih menatap
Eunhyuk.
Eunhyuk terkejut mendengarnya, ia sudah membuka mulutnya untuk
menjawab namun Donghae menginterupsinya.
“Kau tahu aku menyukaimu, jelas-jelas kau mengetahuinya, tapi
tidak sedikitpun kau melihat, peduli. Kau selalu mengabaikannya.”
“Dengarkan aku, Hae…”
“Apa? Kau ingin bilang kalau sekarang kau menyukaiku?”
Eunhyuk menggigit bibir bawahnya. Bagaimana mengatakan yang sebenarnya?
“Apa aku terlihat sebegininya menyedihkan di matamu?” Kali ini
Donghae tersenyum pahit.
Dan ekspresi itu jauh lebih menyakiti hati Eunhyuk.
“Aku ingin pergi, menjauhimu, meninggalkanmu,” kata Donghae. “Namun
dirimu, bahkan suaramu, seakan muncul di sekitarku dan menghalangiku. Aku sudah
sakit sedemikian parah.”
Mata Eunhyuk basah lagi.
“Kau yang menyebabkan semua ini, Lee Hyukjae.”
Eunhyuk menunduk lagi. Ia merasa makin bersalah.
“Tapi aku juga tidak punya hak untuk memaksamu menjadi milikku
kan?! Perasaanmu, hatimu, sepenuhnya milikmu.”
Sejenak, beberapa detik di kesunyian.
“Apa aku sudah sangat menyakitimu?” Akhirnya Eunhyuk bersuara.
Donghae tidak menjawab.
“Apa aku sudah sangat keterlaluan?” Eunhyuk mengangkat mukanya,
menatap Donghae. Matanya sudah luar biasa basah.
Ingin sekali Donghae menghapus airmata itu. Tapi ia bertahan di
tempatnya berdiri.
“Dan yang kurasakan sekarang adalah balasan karena membuatmu
tersiksa?” Eunhyuk menghapus kasar airmatanya.
Donghae berusaha memahami kalimat Eunhyuk.
“Kurasa apa yang akan kukatakan sekarang hanya terdengar seperti
lelucon, tapi bisakah kau mendengarnya?” pinta Eunhyuk.
Donghae hanya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
“Kurasa ini karma karena mengacuhkanmu selama ini, dan aku
memang pantas mendapatkannya,” aku Eunhyuk. “Tiga hari ini, saat kau menolak
semua pesan dan teleponku, aku merasa seperti gila. Aku bahkan tidak pernah merasakan
hal ini jika Sungmin-hyung melakukan hal yang sama. Tapi begitu kau……”
Kalimat Eunhyuk terhenti. Ia merasa tenggorokannya tercekat.
Donghae masih menunggu Eunhyuk bicara.
“Aku mungkin konyol. Dan terlihat gampangan,” Eunhyuk tersenyum
perih sambil sekali lagi mencengkeram poninya. “Tapi…aku menyukaimu.”
Donghae bisa merasakan detak jantungnya yang mendadak bekerja
ekstra. Namun otaknya sama sekali tidak memberi perintah untuk mengubah
ekspresinya.
Eunhyuk kembali menggigit bibirnya saat Donghae tidak merespon
kalimatnya barusan. Mati-matian ia menahan agar airmatanya tidak tumpah.
“Lalu apa yang kau inginkan?” tanya Donghae dingin.
Eunhyuk menatap mata Donghae. “Cukup kau mendengarnya sebelum
pergi.”
“Tentu, aku akan tetap pergi.” balas Donghae.
Sejenak kembali hening.
“Bolehkah aku memastikan satu hal sebelum kau pergi?” tanya
Eunhyuk hati-hati.
“Geurae.” jawab Donghae cepat.
“Perasaanmu…masih bolehkah aku memilikinya?”
Sungguh, semua urat syaraf di wajah Donghae hari ini menolak
instruksi dari otak. Bahkan dengan pertanyaan yang tidak pernah Donghae sangka
akan keluar dari mulut Eunhyuk itu tidak mampu membuat wkspresinya berubah.
“Aku juga akan melakukan hal yang sama padamu,” tambah Eunhyuk.
“Perasaanmu adalah milikmu, aku tidak berhak untuk menyuruhmu tetap menyukaiku.”
Masih tetap tak ada balasan dari Donghae. Namja itu hanya
menatap tajam tepat ke bola mata Eunhyuk. Membuat namja yang lebih tua darinya
beberapa bulan itu kembali menunduk, tak sanggup menghadapi tusukan pedang tak
kentara dari mata Donghae yang biasanya selalu meneduhkannya itu.
“Katakan sesuatu, Hae.” pinta
Eunhyuk lirih.
“Mengatakan apa?”
“Jawaban…”
“Kau sudah tahu jawabannya.” potong Donghae.
Eunhyuk terkejut. Ia menengadah dan melihat Donghae dengan tanpa
mengubah ekspresinya sudah berada dalam jarak yang cukup dekat dengannya. Dan
tanpa komando Donghae menekan bibir Eunhyuk. Donghae bahkan tidak memberi
kesempatan untuk Eunhyuk merespon kalimatnya yang terakhir.
Donghae meraih tengkuk Eunhyuk untuk memperdalam aktivitasnya.
Eunhyuk sendiri hanya bisa memejamkan rapat kedua matanya. Memilih menerima
sentuhan Donghae yang perlahan menghangatkan hatinya.
“Apa aku masih bisa memiliki hatimu?” tanya Eunhyuk lagi dengan
muka semerah tomat saat ia berhasil menjauhkan bibir Donghae dari bibirnya.
Namun Donghae hanya menatap dalam mata Eunhyuk sebelum
mengulangi sekali lagi ciumannya. Cukup lama sebelum ia menyerah karena oksigen
mulai meninggalkan paru-parunya.
“Aku bisa ketinggalan pesawatku.” kata Donghae.
Mata Eunhyuk melebar. “Kau tetap pergi?”
“Seperti yang kukatakan tadi, aku akan tetap pergi. Aku tidak
bisa menyia-nyiakan peluang ini. Lagipula Hangeng-hyung sudah berusaha keras
untukku juga.”
“Berapa…lama?” tanya Eunhyuk lirih.
Donghae memperhatikan wajah Eunhyuk yang kembali sendu. Ia
mendadak tersenyum jahil. “Cukup lama untuk membuatmu benar-benar meyadari
bahwa kau benar-benar menyukaiku.”
“Hae…”
Donghae mengecup singkat bibir Eunhyuk. “Aku akan segera kembali
setelah semua beres. Asal kau berjanji satu hal.”
Eunhyuk hanya diam menatap wajah Donghae yang kembali serius.
“Jangan pernah lagi mengoyak perasaanku.”
Eunhyuk tercekat. Ia buru-buru memeluk erat Donghae sekuat yang
ia bisa. “Aku berjanji.”
Donghae tersenyum dan mengelus puncak kepala Eunhyuk sambil
berbisik, “Malam yang waktu juga itu belum selesai lho.”
Eunhyuk terbelalak dan buru-buru melepaskan pelukannya.
“Mu—musun soriya?”
Donghae terkekeh sambil mengelus pipi kiri Eunhyuk. “Gomawo…”
Eunhyuk mengangkat wajahnya yang kembali memerah.
“Gomawo telah mengejarku kemari.” lanjut Donghae sambil
tersenyum. Senyum yang amat sangat Eunhyuk rindukan tiga hari ini.
“Tolong kembalilah dengan selamat.”
Donghae mengangguk. “Pasti.”
“Kka.” Eunhyuk menurunkan tangan Donghae dari pipinya.
“Pesawatnya tidak akan berangkat kalau kamu belum naik.”
“Kau rela melepasku?” tanya Donghae jahil.
“Mana mungkin!” Eunhyuk mengerucutkan bibirnya. “Tapi kalau ini
tentang pekerjaanmu, aku tidak mungkin tidak mendukungnya kan?!”
Donghae tersenyum lagi. “Sekali lagi terimakasih dan tunggu
aku.”
“Ne.” jawab Eunhyuk singkat saat Donghae meraih kopernya.
Donghae menghadiahkan ciuman terakhir di kening Eunhyuk sebelum
menyeret kopernya menjauhi namja itu. Eunhyuk mengikuti Donghae sampai beberapa
langkah sebelum berhenti dan memilih untuk menatap punggung kekasihnya itu
menjauh.
Kekasih?
“Ya! Dia kekasihku!” ujar Eunhyuk mantap pada dirinya.
Donghae membalikkan badan di kejauhan dan melambai pada Eunhyuk
sebelum naik ke pesawat. Eunhyuk balas melambai dan melihat namja itu menaiki
tangga menuju pintu masuk pesawat sampai
sosoknya menghilang.
“Kembalilah segera, Lee Donghae.”
===END===
___________________________________________________________________________
Hoaaaaaaaaaaaaaaaa…
Akhirnya kelar juga ini cerita. Kamsia kamsia buat semua yang
udah nagih-nagih sehingga saya tercambuk untuk ngetik meski males ampun-ampunan
*digampar*.
Berhubung saya ga begitu suka yang bener-bener hepi ending, jadi
ya saya bikin kaya’ gini aja akhir ceritanyaa. Toh si Eunhyuk akhirnya bisa
jadian sama Donghae-nya kan?! Muhohohohohoh…
Special thank’s buat Mia yang udah mau digangguin lewat bbm cuma
buat nanyain seluk-beluk bandara *nasib author yang ga pernah naek pesawat*.
Well, makasih untuk yang udah nyempetin baca atau sekedar
mampir. Sekian dan terimakasih… *lambai-lambai sama seluruh cast “When You Need
to Forget”* :)
0 komentar:
Posting Komentar